SEPOTONG COKELAT TERPAHIT
Lina Juhaidah
“Darren!” suara membahana dari
mulut seorang siswi terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Kucing berserta para
tikus berlari terbirit-birit menuju kandang. Yang merasa namanya disebut
beranjak malas dari bangku depan kelas. “Apa?” Darren melongok dari jendela
tanpa gairah. “Oh, tak apa. Pergilah!” bentak siswi gendut itu galak. Darren
tersenyum penuh kemenangan dan kemudian kembali ke bangku depan kelas.
Siswi itu adalah Evanna
Schneider, siswi kelas II A yang baru saja terpilih menjadi ketua organisasi
siswa di sekolahnya.Siang ini ia menemukan tiga pena miliknya digantung di
kusen pintu kelas sepulangnya dari ruang guru. Tak salah lagi, orang yang
mengerjainya pastilah sama sejak setahun yang lalu, pasti Darren Dawkins. Eva
–begitu ia biasa dipanggil- sepertinya sudah cukup lelah memarahi Darren, dan
kini ia hanya cemberut kesal.
Eva meraih kotak bekalnya yang
sudah diisi penuh dengan wedge potatoes buatan ibunya, dan membukanya. “Halo,”
sapa seseorang tiba-tiba sambil menepuk pundak Eva keras, kemudian mencomot
bekal Eva dengan cekatan. Eva tersentak dan tertawa melihat ulah sahabatnya.
“Calm down, Ann,” Eva berucap pelan, dan mereka menghabiskan bekal Eva tanpa
perlu waktu lama. Waktu berjalan lancar di sepanjang hari, hingga hari Rabu itu
berakhir.
* * *
Hari ini hari Kamis. Seperti
biasa, Eva berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia mendapat jatah menyapu di
hari Kamis bersama Claire, Darren, Dick, dan Ed. Ed baru saja datang dan sedang
berlari mengambil sapu, Claire sudah selesai menyapu bagiannya, dan Dick sedang
memperagakan sapu terbang di depan adik kelas tujuh dengan sapu ijuk yang
dibawanya. Tinggal Darren yang belum nampak.
Eva ingat Darren berkata bahwa ia
akan mengikuti Olimpiade Matematika dari hari Kamis sampai Sabtu minggu ini.
Bukan suatu hal baru sebenarnya, tapi tetap saja Eva tak bisa mengelak sepi
saat tubuh kurus Darren tak berkelibat di matanya. Eva meraih sebungkus coklat
–hidangan penghalau galau versi Evanna Schneider- dan memakannya.
Dasar bocah jenius, batin Eva kesal.
Darren, pemuda berambut acak-acakan yang sangat mahir berhitung, mendapat nilai
A di setiap eksperimen kimia, dan menjadi peringkat teratas pararel dalam buku
pencapaian hasil belajar itu benar-benar membikin iri Eva. Darren yang
mengesalkan, meski dalam hati diam-diam Eva menaruh kagum padanya. Eva mengutuk
dirinya sendiri yang tak pernah cermat dalam menghadapi matematika, walau ia
cukup mahir dalam sejarah dan bahasa.
Sudah tiga minggu terakhir sejak
menjadi ketua organisasi di Avonmore Junior High School, Eva semakin dikenal.
Evanna cukup tenar karena keramahan dan keceriaannya, begitu pula dengan
kemampuannya berbahasa. Eva memang tampak menonjol, terutama karena
kerudungnya. Siswi berkerudung di
Avonmore tidak anyak dan bisa
dihitung dengan jari. Tetapi dengan adanya Eva menjadi ketua organisasi siswa
yang jago berdebat, kemampuan mereka terbukti tidak dapat diremehkan.
“Hei,” seru seseorang membuyarkan
lamunan Eva. “Eh, halo,” jawab Eva ramah. “Kau dipanggil oleh Mr. Daimler,”
kata anak itu lagi. “Terimakasih, Ed,” ujar Eva sembari tersenyum. Cepat-cepat
ia meletakkan sapunya (ia melamun sambil berdiri memegang sapu!), dan berlari
kecil menuju ruang guru.
* * *
“Damn,” Darren mengumpat pelan.
“Apa, Darren?”. “Oh, tak ada apa-apa, Sir. Hanya sedikit pusing”. “Pantas.
Sebaiknya kau memang istirahat dulu, Darren. Masih banyak yang akan kau tempuh
besok,” ujar Mr. Johannes lembut. “Iya, Sir. Terimakasih”.
Darren meletakkan buku-bukunya
dan langsung menjatuhkan diri di atas kasur. Ia menjambak pelan rambutnya yang
tak pernah rapi itu. Soal-soal yang dihadapinya tadi memang membuat kepalanya
berat. Tapi kerinduannya pada seorang gadis gendut besuara nyaring itu juga
menyiksanya.
* * *
Detik berganti menit, menit
berganti jam, dan jam beralih menjadi hari. Hari ini hari Senin, murid-murid Avonmore Junior High School berangkat dengan
sedikit malas dan masih dibayangi keasyikan hari Sabtu dan Minggu mereka
masing-masing.
Annie menatap jam tangannya dan
merutuk dalam hati. Bel masuk sudah terdengar sejak sepuluh menit yang lalu.
Semua murid sudah duduk di kursinya masing-masing dan sudah membaca doa, tapi
satu kursi di sebelah Annie masih kosong. Rambut kucir kuda Annie menyibak
keras saat ia menggeleng, membayangkan ketua organisasi siwa itu terlambat
masuk. Di seberang kelas, Darren merasakan hal yang sama. Namun Evanna masih
belum terlihat. Pelajaran sejarah kali ini terasa sunyi tanpa kehadiran Evanna.
“Annie. Hei, Ann!” seru Darren
keras setelah bel istirahat berbunyi. “Halo, Darren,” sapa Annie mengalihkan pandangannya
dari Ben Sheeran yang sedang bermain basket. “Apa kabar?” tanya Darren membuka
percakapan. “Kau menanyakan kabarku atau sahabatku?” balas Annie spontan. “Eh?
Umm,” desah Darren salah tingkah. “Aku tidak tahu kenapa ia tak masuk hari ini.
Kemarin kami bersepeda di sepanjang Avonmore Road dan ia tak mengatakan apapun
tentang sakit atau bepergian atau sebagainya,” cerocos Annie. “Mungkin ia sakit
karena beberapa hari tak bertemu denganmu,” tambahnya. “Tidak, kurasa bukan
karena itu. Terimakasih, Ann” ujar Darren dan ia langsung masuk ke kelas.
Mukanya merah padam.
“Selamat, Darren,” suara Meg
mengejutkan Darren. Meg Blacklum adalah siswi kelas sebelah yang dikenal
sebagai penggemar berat ilmuan Avonmore yang satu ini. “Err, selamat untuk
apa?” tanya Darren kebingunan. “Oh, ayolah. Leon sudah bercerita padaku.
Kemarin kau menang, bukan? Selamat, Darren. Aku tahu kau pasti mendapatkannya,”
ucap Meg dengan nada yang dibuat sedemikian rupa yang menurut Darren seperti
tikus terjepit dalam pipa air.
“Leon? Ah, dia cerita tentang banyak hal. Itu
bukan hal yang patut dibanggakan, semua wakil dari sekolah kita
mendapatkannya,” kata Darren sambil mengangkat bahu. Leona Wolf adalah wakil
Biologi yang terkenal gemar bercerita tentang apapun, termasuk hal-hal yang
dianggap tidak penting bagi sebagian besar orang. “Shut up, Darren. Aku hanya
ingin memberi ucapan selamat padamu dan memujimu sedikit, tapi kalau itu
mengganggumu, aku akan pergi. Terimakasih.” Meg yang berjalan angkuh
meninggalkan Darren yang hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan tingkah
konyol Meg.
* * *
“Sudahlah, Mum. Please jangan
perlakukan aku seperti orang sakit kalau kau ingin aku cepat sembuh,” desah Eva
dari balik bantal. Ibunya yang sedang meracik obat tersenyum lembut. “Tenanglah
dan berhenti mengeluh, honey. Kalau kau tak ikut adikmu bermain di bawah hujan
kau tak akan seperti ini”. “Dan sayangnya setiap kalimat kalau tak pernah ada
gunanya karena selalu diucapkan setelah semuanya terlambat,” sahut Eva cepat.
“Oh, diamlah, Kak. Aku juga sakit dan kukira akan lebih baik bagiku dan bagimu
untuk tidur”. ”Shut up, Nick. Ini semua salahmu,” telunjuk Eva mengacung pada
tubuh lemah adiknya yang juga demam.
“Aku selalu bermain saat hujan
turun dan aku juga ingin bermain kemarin. Aku tak mengajakmu,” balas Nick
ketus. “Cukup untuk perdebatan kali ini dan segeralah tidur sebelum aku berubah
pikiran dan menyuruh kalian menelan batu Sungai Crushwater,” Nyonya Schneider
berkata tegas. Sungai Crushwater terkenal sebagai sungai berarus deras dengan batu-batu
besar. Kabarnya, batu Sungai Crushwater bisa menyembuhkan segala penyakit, tapi
mempunyai rasa seperti rakun mati, serta kekerasan yang bisa membuat gigi-gigi
remuk dan gusi bernanah, tanpa diketahui siapa yang pernah mencobanya.
Eva mendengar Nick mendengus
keras. Hampir saja ia akan bicara sampai dilihatnya kedua mata Mum yang
membelalak mengancamnya. Eva merogoh sebuah telepon genggam dari balik bantal
dan terlihat olehnya ada banyak pesan yang masuk. Annie. Eva terfokus pada nama
sahabatnya itu. Segera ia membalas pesan Annie yang menanyakan kabarnya. Satu
hal yang membuat Eva sedikit kecewa, ia tak menemukan nama ‘Darren’ di kotak
masuknya.
* * *
“Oh, God. Apa salahku pada Eva?
Dasar bocah tengil menyebalkan,” umpat Darren dari pojok kamarnya. Sudah
beberapa kali Darren mengirim pesan pada Eva, namun tak satupun yang dibalas.
Ini sudah kali kelima dan ia mulai kesal. Dibantingnya ponsel miliknya ke atas
kasur. Ia meraih kasar salah satu buku dari rak dan berpendapat membaca novel
horor bisa membuatnya lebih baik.
* * *
Annie merasa sangat bahagia tiga
hari terakhir. Ben Sheeran, kakak kelas IX yang jago basket itu menyapanya dua
hari yang lalu, dan hal sepele macam itu bisa memunculkan euforia yang bertahan
sampai seminggu lamanya. Namun, ada yang janggal hari ini. Darren dan Eva diam
dan tak saling bertegur sapa. Kedua temannya itu juga jadi sangat membosankan.
Ia mencoba menanyai mereka satu-
satu tapi keduanya hanya
menggeleng lemas. Tak bisa menghalau rasa penasarannya, ia memaksa Eva untuk
bercerita.
“Aku tak apa-apa, Ann. Aku sudah
mengatakannya berulang kali padamu, aku tak apa-apa. Aku kemarin memang sakit,
tapi hari ini aku sudah sembuh total. Kau tahu sendiri Mum tak akan pernah
membiarkanku sekolah dengan keadaan demam, aku sudah sembuh! Tolong percayalah
padaku dan berhenti menatapku seperti itu,” ujar Eva tegas. Dilahapnya sepotong
coklat dari genggamannya dengan kasar.
“Kau berkata seakan aku tak kenal
kau. Berdusta pada sahabatmu adalah hal bodoh yang percuma, Eva. Berhentilah
berbohong dan katakan apa yang terjadi padaku,” Annie merangkul Eva. “Kau
benar, Ann,” Eva mengangguk. “Tapi mungkin aku memang makhluk terbodoh yang
pernah kau jumpai. Annie, aku sedang marah dengannya dan ia tak mengucap maaf
padaku,” cerita Eva dengan kepala tertunduk.
“Dengannya? Darren?” tanya Annie
penuh selidik. Evannna memperlahan kecepatan mengunyah coklatnya dan mengangguk
kecil. Ia menceritakan kekesalannya pada Darren yang tak mengirim satu pesan
pun kepadanya saat ia sakit.
“Astaga, ini gila!” seru Annie
sembari bangkit dari kursinya tepat setelah Eva menceritakan kekesalannya. “Ada
apa? Harusnya aku yang mengucap ‘ini gila’, bukan kau”. “Ah, aku bingung, Ev.
Tadi malam Darren mengirimiku pesan dan-“ “Tidak adil! Kenapa dia tak melakukan
hal yang sama padaku?” Eva berteriak keras, menyela perkataan sahabatnya. “Kau
menyelaku,” keluh gadis berkucir kuda itu kesal.
“Maaf,” ujar Eva segera. “Apa
yang dikatakannya?” tanya Eva hati-hati, tak ingin melukai hati sahabatnya.
“Darren mengeluh padaku semalam. Ia mengatakan padaku telah mengirimkan pesan
untukmu sampai tujuh kali, tapi tak ada satupun yang mendapat balasan. Bertolak
keras dengan apa yang baru saja kau ceritakan,” ujarnya bingung dan kemudian
menggelengkan kepalanya keras tanda bingung. Rambut kucir kudanya mengenai pipi
Eva.
“Aneh,” gumam Eva pelan. “Lalu,
bagaimana?” tanya Ann. “Ah, sudahlah. Kurasa itu bukan suatu hal penting,”
jawab Eva masih dengan suara pelan. “Ann,”. “Ya?”. “Kau mau menemaniku nanti
sore? Aku baru saja teringat suatu hal penting dan aku rasa akau harus pergi
sebentar sore ini. Kau mau menemaniku, Ann?”. “Whenever, Babe,” balas Annie
senang sahabatnya sudah mulai tersenyum kembali.
“Thanks a lot, Ann. Aku tak tahu
sehancur apa aku tanpa kau, -dan coklatku,” tambah Eva cepat. Annie tertawa dan
meremas tangan Eva. “Sekarang aku yang menyelidikimu, Ann”. “Eh, apa?”. “Bisa
kau ceritakan kenapa kau terlihat sangat bahagia akhir-akhir ini?”. “Umm, aku
tak tahu. Kurasa melihat kau bahagia juga membuatku bahagia. Bagaimana
menurutmu?”. “Hm, tidak juga. Kurasa kau tak akan bahagia bila aku mengusulkan
agar kelas kita jauh dari lapangan basket,” ujar Eva menggoda. “Hah? Hei, diam
Evanna Schneider, atau kujelali mulutmu dengan setruk batu Crushwater!” jerit
Annie keras. Dikejarnya Eva yang sudah berlari menghindari amukan Annie.
* * *
Pagi ini Darren memacu sepedanya
menuju sekolah dengan kecepatan ganda. Rumah Darren bersebelahan dengan Hotel
Baverlies, dan terbilang cukup dekat dengan Avonmore Junior High School. Hal
itulah yang membuatnya memilih sepeda kayuh sebagai kendaraannya pulang pergi
sekolah. Entah apa yang merasukinya hari ini, ia merasa sangat bersemangat.
Padahal, ia masih saling melakukan aksi kunci mulut dengan Eva, yang sampai
saat ini belum membalas satupun pesan darinya. Darren memasuki gerbang sekolah,
menyandarkan sepedanya, kemudian melangkah cepat menuju kelas.
“Hai, Claire,” sapa Darren pada
salah seorang teman sekelasnya. “Halo, Dare. Baru saja aku dititipi pesan agar
kau menemui Mr. Daimler –segera!”. “Damn, aku baru saja sampai!” keluh Darren.
“Kalau kau ingin protes, proteslah pada Mr. Daimler. Aku hanya dititipi pesan”.
“Kau benar, Claire. Aku akan protes padanya.Bye, Claire,” seru Darren sambil
berlari meninggalkan kelas.
Ed datang bersamaan dengan Eva,
mereka bertemu di gerbang. “Kau sudah menyelesaikan bagianmu, Claire? Berikan
padaku sapunya,” seru Ed melihat Claire yang sedang berjalan hendak meletakkan
sapu, yang kemudian berbalik setelah mendengar seruan Ed. “Bukankah ini tas
milik Darren? Dimana dia sekarang?” tanya Ed. “Mr. Damiler memanggilnya, Ed.
Sekarang lebih baik kau segera menyapu bagianmu, -dan kau juga, Evanna,”
perintah Claire. Evanna sedang mengambil sebuah bungkusan dari tasnya dan
memasukkannya ke dalam tas milik Darren. Hari ini tanggal dua Agustus –hari
ulang tahun Darren!
Eva sudah membeli kado bersama
Annie kemarin sore, dan membungkusnya sendiri berjam-jam. Gadis yang selalu
memakai kerudung itu merasa sikap Darren padanya akan membaik setelah membuka
kado itu –lihat saja!
“Evanna Schneider, kau sedang
apa? Memasukkan santet kedalam tas Darren? Oh, pantas saja Leon berkata padaku
bahwa tas Darren dilindungi mantra anti guna-guna!” teriak Dick histeris dari
dekat pintu. “Aku hanya –apa? Aku tak bermain santet, enak saja!” Eva balas
berteriak. Dengan hati-hati ditutupnya kembali resleting tas milik Darren,
kemudian mengambil salah satu sapu dari dua sapu yang tersisa.
Eva meletakkan sapunya setelah
selesai mengerjakan tugas hari Kamisnya. “Permisi,” terdengar suara seorang
gadis dari balik pintu. Claire yang duduk paling dekat pintu segera bangkit dan
menemui gadis itu. Shafra!, seru Eva dalam hati. Shafra merupakan salah satu
siswi berjilbab selain Eva di Avonmore. Eva segera menghampirinya.
“Oh, kau sudah kemari tanpa perlu
kupanggil, Ev. Segeralah kau menemui Bu Gendut sebelum kau dimakannya. Shafra
berkata kau telah ada janji dengannya,” ujar Claire. Shafra tersenyum kecil
melihat Eva. “Astaghfirullah, aku lupa aku ada janji dengannya hari ini!
Thanks, Claire. Thanks juga, Shafra. Bye,” seru Eva cepat sambil meraih tasnya,
kemudian berlari menuju Mrs. Maylie.
Kemarin Mrs. Maylie –atau yang
biasa disebut ‘Bu Gendut’ di kalangan siswi Avonmore- sudah menghubunginya dan
berkata bahwa akan ada penyuluhan tentang bahaya AIDS di Olympia, dan Eva
harus berangkat kesana menjadi
wakil dari Avonmore Junior High School dengan Bu Maylie. Eva melihat
samar-samar Bu Maylie sedang berkacak pingang di depan ruang guru, dan dapat
merasakan kedua mata Bu Maylie menatap tajam ke arahnya. Ia tak menyangka
keberangkatannya akan sepagi ini. Sementara itu, bel masuk berbunyi dan Darren
sudah sampai kelas.
Pelajaran-pelajaran di hari Kamis
adalah kumpulan-pelajaran-yang-paling-tidak-menyenangkan menurut dua puluh anak
kelas II A. Tiga jam yang pertama adalah aritmatika dan sejarah. Maka dari itu,
saat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh dan bel istirahat berbunyi, semua
murid mengucap syukur dan segera berlari meninggalkan kelas.
Tetapi tidak dengan Darren. Hari
ini ia tidak menemukan Eva di bangku sebelah Annie. Ia mencoba tak memikirkan
hal ini dan memikirkan tentang bungkusan-bungkusan dalam tasnya yang membuat ia
kesulitan mengambil penanya. Darren terperanjat. Ia baru sadar ini hari ulang
tahunnya. Beruntung kelas dalam keadaan tidak ada orang –kecuali Darren sendiri-,
sehingga ia bisa membuka bungkusan-bungkusan itu dengan tenang.
Darren meraih bungkusan yang
menyembul dari dasar tas. Bungkusan yang panjang dan dibungkus dengan kertas
koran! Darren menyangka yang meletakkan ini di tasnya mungkin sudah kurang
ajar. Astaga, teleskop! Darren sudah lama sekali menginginkan ini tetapi belum
kesampaian. Hingga hari ini, -ia mendapatkannya! Darren tak berhenti bersyukur,
ia baru saja akan membelinya sepulang sekolah dengan uang hasil lombanya
kemarin, tapi itu tak perlu, Darren sudah memilikinya tanpa perlu susah payah.
Ia mencari kertas ucapan untuk mengetahui siapa pemberi hadiah ini sebenarnya,
tapi nihil. Kemudian tertangkap oleh pandangannya secari kertas kecil berwarna
biru di lantai. Diraihnya dan dibacanya kertas itu.
‘Selamat Ulang Tahun, Darren.
Kurasa kau akan terkejut melihat kado dariku ini –aku yakin kau akan
menyukainya. Kado ini tak ada apa-apanya dibandingkan besarnya arti kehadiranmu
untukku –lebih besar dari batu-batu sungai Crushwater! Aku harap kau mau memaafkanku
jika aku punya salah padamu, apapun itu, aku minta maaf. Be succes, Darren. Aku
menyayangimu’, Darren selesai membaca ketikan di kertas itu dan tak menemukan
sedikit identitas dari si pemberi kado. Inisial atau tanda tangan pun tidak!
Tapi dari bahasa yang digunakan serta kalimat yang disampaikan, Darren hampir
yakin ia mengetahui siapa pemberi kado.
“Darren, kau sedang apa?” tanya
seseorang mengejutkan Darren. “Oh, hai, Ann. Aku membuka kado,” jawab Darren
cepat. Diletakkannya teleskop baru itu diatas meja dan ia membereskan kertas
koran pembungkusnya. “Teleskop? Great. Kau pasti sangat senang,” kata Annie.
“Darimana kau tahu aku menginginkan sebuah teleskop?” tanya Darren kaget. Annie
terhenyak melihat ekspresi kaget Darren dan menjawab santai, “Ev menceritakannya
padaku”.
Otak Darren berpusing cepat.
Diawasinya Annie yang sedang duduk sambil menghabiskan sandwich yang baru saja
dibelinya. Darren mengira hanya Eva yang mengetahui ambisinya pada teleskop,
sehingga hanya Eva yang mungkin memberinya teleskop. Tetapi ternyata Annie juga
mengetahuinya dan Darren tak menemukan Eva hari ini! Darren masih memerhatikan
Annie yang sedang tersenyum-senyum
sambil mengarahkan pandangan ke
lapangan basket. Kepala Darren pusing. Jangan-jangan bukan Eva yang memberinya
teleskop –melainkan Annie!
* * *
Eva melangkah santai hari Jumat
itu, membayangkan senyum bahagia Darren karena kado darinya. Darren pasti akan
berterimakasih padanya dan mengatakan bahwa ia sudah sangat lama
menginginkannya. Atau mungkin, Darren akan mengajaknya melihat bintang di
rumahnya nanti malam! Eva begitu bahagia meski hari ini ia berangkat agak
telat.Tadi pagi ia mengurusi Sofi, adik bungsunya, karena Mum sedang kurang
enak badan. Begitu sampai kelas, Eva terlonjak. Darren sedang mengobrol dengan
seorang gadis dan tertawa keras bersama. Gadis itu agak kurus dan berkucir
kuda, -gadis yang bernama Shreannie Twist!
Eva melangkah duduk ke bangku
sebelah Annie dengan kesal. Diliriknya kedua sahabatnya itu, Darren memberi Eva
tatapan sadis! Oh, Eva sama sekali tak tahu ada apa dengannya hingga semua jadi
begini. “Halo, Ev. How’s life?” sapa Annie yang rupanya baru menyadari
kedatangan Eva. “So bad,” Eva menjawab pelan dan mendengus keras. Ia sama
sekali tak menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan Annie dan menghindari
tatapan tajam Darren seharian ini. Sangat berbeda dengan apa yang
dibayangkannya!
Darren semakin menjauhi Eva
seminggu terakhir dan Eva juga takut untuk mendekati Darren. Penghuni kelas
juga merasa ada yang aneh pada mereka saat mereka tak menimbulkan keributan
seperti biasanya. Eva menghabiskan banyak coklat akhir-akhir ini, dan ia
anehnya juga merasa sedikit sebal pada Annie. Ia merasa sangat aneh. Susah
untuk mengetahui apa yang sebenarnya orang lain pikirkan.
* * *
Merasa tersiksa dengan jarak yang
semakin terbentang antara ia, Darren, dan Annie, Eva memutuskan untuk
memberikan sebungkus coklat maaf untuk mereka berdua. Eva merasa ini jalan yang
paling baik. Ia membeli dua Hans Chocolate batang yang biasa ia bawa ke
sekolah, dan menulisi bungkusnya dengan huruf besar-besar, ‘Tolong Maafkan Aku’
menggunakan spidol permanen. Eva meletakkan dua coklat itu masing-masing satu
di tas Darren dan Annie pada jam istirahat, kemudian berlari menuju
perpustakaan. Mungkin sebuah komik lucu dapat menghiburku, batin Eva sedih.
* * *
Darren menemukan sebunguks Hans
Chocolate dan kertas bertuliskan permintaan maaf di tasnya begitu sampai di
rumah. Darren langsung teringat pada Eva, dan yakin cokelat itu pemberian
darinya. Tapi Darren sedang kesal pada Eva. Eva tak membalas pesannya, tak
pernah mengirim pesan lain atau meneleponnya, bahkan tak pernah menyapa atau
mengajaknya bicara. Saat hari ulang tahunnya kemarin lalu, Eva juga tak
terlihat batang hidungnya.
Come back and tell me why I’m
felin’ like I’ve missed you all this time..., Darren terhenyak dari lamunannya,
suara kutipan lagu itu terdengar cukup keras. Taylor Swift, batin Darren sebal.
Taylor Swift
adalah penyanyi kegemaran
adiknya, Lynn, dan juga idola Eva. Eva, Darren mendengus jengkel. Dicarinya
sumber suara penyanyi Country asal Amerika itu.
“Hah, dasar,” umpat Darren begitu
matanya menangkap ponsel adiknya tergeletak di antara novel-novel horor koleksi
Darren. Tak salah lagi, Lynn pasti menyelinap membaca atau malah menguntit
novel milik Darren. Dasar anak kecil, bati Darren kesal dan sedikit geli.
Rupanya ada yang menelepon adiknya sehingga ponsel itu berbunyi. Darren melihat
layar handphone memastikan siapa yang menelepon adiknya. Matanya terbelalak
melihat siapa nama yang tertera di sana. Darren menekan tombol mengangkat
telepon itu. Nama penelepon itu terpampang jelas di layar. Evanna Schneider.
Darren memutuskan sambungan
ponsel Eva tanpa tahu mengapa ia melakukannya. Terang saja ia semakin sebal
pada Eva. Pintu kamar Darren membuka dengan suara keras, Lynn ada dibaliknya.
“Darren, aku mendengar suara
ponselku dari kamar ini. Cepat kembalikan,” seru Lynn cepat. “Siapa suruh
menguntit novelku dan meninggalkan handphone begitu saja? “ serang Darren.
“Ambil ponselmu dan segeralah pergi,” perintah Darren sembari melemparkan
ponsel Lynn ke atas kasur. Ia benar- benar sebal. Ia tahu adiknya memang dekat
dengan Eva tapi mengapa semua jadi terasa tak adil? Eva tak membalas satupun
pesannya dan malah menelepon adiknya.
* * *
Hari ini sangat kelabu, awan
gelap tebal menggelantung kuat pada hamparan lazuardi. London gempar oleh
cerita pembunuhan berantai sekeluarga di sebuah rumah dekat Hotel Great
Avonmore. Annie berangkat ke sekolah pada jam yang sudah sangat siang dengan
mata sembab. Darren yang sudah datang sejak tadi menyapanya.
“Halo, Ann. Kau menangis? Apakah
Ben Sheeran memutuskanmu atau apa?” goda Darren. Annie semakin sesenggukan
melihat Darren. Diseretnya tangan Darren. “Hei, kau mau kemana? Menjadikanku
tumbal agar kau jadi setinggi Ben? Oh, sudahlah. Ini konyol, Ann,” ujar Darren
mencoba bercanda.
Annie memasuki ruang teknologi
dan menyalakan satu laptop terdekat. “Berhenti bertingkah aneh dan bicaralah
kepadaku, Ann. Bel masuk sudah berbunyi, tak dengarkah kau? Aku tak bisa tahu
apa maumu. Membuka e-mail –kau ingin apa sebenarnya? Oh, Ann, kita sudah
masuk!” teriak Darren tegas. Annie membuka akun surat elektronik miliknya dan
menunjukkan salah satu surat yang diterimanya pada Darren. Darren melihat nama
pengirim surat itu –Lynn Dawkins! Ia merasa sangat janggal tapi memutuskan
untuk diam dan membaca dengan tenang sampai selesai.
Kak Ann, aku mengirimkan e-mail
dari Kak Eva semalam. Tolong dibaca ya, Kak.
“Untuk Lynn
Lynn, aku tak tahu kenapa aku
bisa merasa sangat sayang kepada Darren, kakakmu, sebagaimana aku menyayangi
Annie. Aku mengira dia juga menyayangiku, tapi kemudian aku berubah pikiran
saat kakakmu tak mengirimiku satu pesan pun saat aku sakit. Esoknya, Ann
memberitahuku kalau Darren mengeluh tak satupun pesannya mendapat balasan dariku
padahal ia mengkhawatirkan keadaanku.
Aku mengecek kotak masuk di
ponselku beberapa kali dan tak menemukan namanya, lalu aku mulai berpikir salah
satu dari mereka –Darren atau Annie- berbohong kepadaku.
Kemudian aku mengotak-atik
ponselku dan kau tahu apa, Lynn? Aku menemukan sepuluh pesan di kotak spam yang
kesepuluhnya adalah pesan dari Darren! Oh, betapa kaget dan bersalahnya aku
saat itu. Beberapa waktu setelah itu, Nick –adikku yang di sekolah dasar, kau
tahu kan?- mengaku telah memainkan ponselku selama satu jam tanpa tahu apa yang
ia lakukan. Aku ingin meminta maaf tapi sikap Darren begitu dingin padaku dan
aku takut. Ia jadi semakin dingin setelah hari ulang tahunnya.
Aku berpikir keras tentang apa
yang salah dengan kado yang kuberikan. Teleskop adalah benda yang paling
diinginkannya! Aku benar-benar bingung sampai akhirnya kau memberi tahu
kepadaku kalau Darren mengira teleskop itu dari Shreannie Twist, sahabat paling
dekatku sendiri. Aku serasa mau mati mendengarnya!
Dan aku jadi merasa sangat sebal
dan marah pada Annie. Aku tak menghiraukan semua bujukannya agar aku mau bicara
lagi dengannya, aku bodoh! Annie bahkan mungkin tak tahu kalau Darren mengira
teleskop itu darinya. Oh, sekarang aku benar-benar malu menyadari aku marah
kepada Ann hanya gara-gara Darren! Tidak, aku tak menyalahkan kakakmu, Lynn,
akulah yang bodoh.
Kemarin lusa -atau entah kapan
aku lupa- aku memberi sebungkus Hans Chocolate yang kutulisi “TOLONG MAAFKAN
AKU” pada Darren dan Annie, tapi tak ada tanggapan. Lynn, bodohnya aku tak
meminta maaf secara langsung. Tololnya aku terlalu malu pada Darren dan Annie,
dua orang yang sangat aku sayang. Lynn, aku bahkan telah menangis sepanjang
malam meratapi ketololanku!
Mataku selalu basah memikirkan
itu. Eh, Lynn, kau tau Shafra? Gadis berkerudung kelas tujuh di Avonmore Junior
High School? Dia sekelas denganmu, bukan? Kemarin lalu dia bercerita padaku
kakeknya di Hartfordshire tertembak mati. Pemberantasan muslim, katanya.
Dengarkan ini, Lynn, pemberantasan muslim! Memangnya kami hama yang merugikan?
Oh, bukankah baik bagi kita untuk hidup rukun dan saling menghargai seperti di
Avonmore School? Aduh, aku jadi sedikit was-was sekarang.
Sudah dulu, ya, Lynn. Aku
mendengar keributan di luar. Aduh, ada suara seperti bunyi pistol! Aku akan ke
beranda, tolong sampaikan maafku kepada kakakmu, ya? Aku ingin persahabatanku
dan dia dapat segera pulih. Aku minta tolong dengan sangat agar kau mau
membantuku, Lynn.
Oh, aku harus segera keluar
kurasa, Sofi baru saja menjerit dan aku harus memeriksanya. Terimakasih, Lynn.
Bye.” .E.S.
Penglihatan Darren mulai tidak
jelas tapi ia memaksakan diri untuk melanjutkan membaca. Surat dari Eva sudah
habis dan dilanjutkan oleh kalimat-kalimat dari adiknya sendiri.
Kak Ann, aku mendapatkan e-mail
ini dari Kak Eva tadi malam, tapi aku baru saja membacanya pagi ini. Aku memang
pengagum beratnya dan sering berkirim e-mail dengannya. Aku ingin bercerita
pada
Darren tapi ia sudah berangkat.
Oh, iya, hari ini aku tak berangkat karena sedang flu berat. Kau selalu berangkat
agak siang, kan, Kak? Setidaknya kau bisa membaca ini sebelum sampai di
sekolah.
Aku baru saja membaca koran dan
aku menangis. Segera aku mengirimkan ini padamu. Apakah kau berlangganan koran,
Kak Ann? Aku menangis dan menangis sampai sekarang, Kak. Kak Ann aku
benar-benar tak percaya. Keluarga Schneider ditembak mati seluruhnya, dan rumah
mereka yang berada di dekat Hotel Great Avonmore terbakar habis. Bayangkan,
-seluruhnya! Keluarga kak Eva! Kak, aku masih menangis. Kak Eva adalah gadis
yang baik dan aku yakin semua keluarganya juga baik, kenapa mereka harus
ditembak? Apa karena perbedaan keyakinan? Oh, ini kejam! Kak, aku tak tahu
harus berkata apa padamu, aku hanya ingin mengirimkan surat dari Kak Eva ini.
Kurasa aku hanya ingin menangis terus dan terus. Oh, sudahlah -bye, Kak.”
Annie menangis keras dari tadi
dan berlutut di lantai. Darren tak bisa merasakan apa-apa, dunia menjadi gelap
dan berputar-putar. Ia merasakan organ-organ tubuhnya jatuh dan menghilang dari
tubuhnya. Hujan mulai turun. Darren merogoh sebungkus Hans Chocolate yang masih
utuh dari sakunya. Cokelat itu adalah cokelat yang paling pahit bagi Darren.
* * *