Jumat, 15 Maret 2013

SEPOTONG COKELAT TERPAHIT



SEPOTONG COKELAT TERPAHIT
Lina Juhaidah

“Darren!” suara membahana dari mulut seorang siswi terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Kucing berserta para tikus berlari terbirit-birit menuju kandang. Yang merasa namanya disebut beranjak malas dari bangku depan kelas. “Apa?” Darren melongok dari jendela tanpa gairah. “Oh, tak apa. Pergilah!” bentak siswi gendut itu galak. Darren tersenyum penuh kemenangan dan kemudian kembali ke bangku depan kelas.
Siswi itu adalah Evanna Schneider, siswi kelas II A yang baru saja terpilih menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya.Siang ini ia menemukan tiga pena miliknya digantung di kusen pintu kelas sepulangnya dari ruang guru. Tak salah lagi, orang yang mengerjainya pastilah sama sejak setahun yang lalu, pasti Darren Dawkins. Eva –begitu ia biasa dipanggil- sepertinya sudah cukup lelah memarahi Darren, dan kini ia hanya cemberut kesal.
Eva meraih kotak bekalnya yang sudah diisi penuh dengan wedge potatoes buatan ibunya, dan membukanya. “Halo,” sapa seseorang tiba-tiba sambil menepuk pundak Eva keras, kemudian mencomot bekal Eva dengan cekatan. Eva tersentak dan tertawa melihat ulah sahabatnya. “Calm down, Ann,” Eva berucap pelan, dan mereka menghabiskan bekal Eva tanpa perlu waktu lama. Waktu berjalan lancar di sepanjang hari, hingga hari Rabu itu berakhir.
* * *
Hari ini hari Kamis. Seperti biasa, Eva berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia mendapat jatah menyapu di hari Kamis bersama Claire, Darren, Dick, dan Ed. Ed baru saja datang dan sedang berlari mengambil sapu, Claire sudah selesai menyapu bagiannya, dan Dick sedang memperagakan sapu terbang di depan adik kelas tujuh dengan sapu ijuk yang dibawanya. Tinggal Darren yang belum nampak.
Eva ingat Darren berkata bahwa ia akan mengikuti Olimpiade Matematika dari hari Kamis sampai Sabtu minggu ini. Bukan suatu hal baru sebenarnya, tapi tetap saja Eva tak bisa mengelak sepi saat tubuh kurus Darren tak berkelibat di matanya. Eva meraih sebungkus coklat –hidangan penghalau galau versi Evanna Schneider- dan memakannya.
Dasar bocah jenius, batin Eva kesal. Darren, pemuda berambut acak-acakan yang sangat mahir berhitung, mendapat nilai A di setiap eksperimen kimia, dan menjadi peringkat teratas pararel dalam buku pencapaian hasil belajar itu benar-benar membikin iri Eva. Darren yang mengesalkan, meski dalam hati diam-diam Eva menaruh kagum padanya. Eva mengutuk dirinya sendiri yang tak pernah cermat dalam menghadapi matematika, walau ia cukup mahir dalam sejarah dan bahasa.
Sudah tiga minggu terakhir sejak menjadi ketua organisasi di Avonmore Junior High School, Eva semakin dikenal. Evanna cukup tenar karena keramahan dan keceriaannya, begitu pula dengan kemampuannya berbahasa. Eva memang tampak menonjol, terutama karena kerudungnya. Siswi berkerudung di
Avonmore tidak anyak dan bisa dihitung dengan jari. Tetapi dengan adanya Eva menjadi ketua organisasi siswa yang jago berdebat, kemampuan mereka terbukti tidak dapat diremehkan.
“Hei,” seru seseorang membuyarkan lamunan Eva. “Eh, halo,” jawab Eva ramah. “Kau dipanggil oleh Mr. Daimler,” kata anak itu lagi. “Terimakasih, Ed,” ujar Eva sembari tersenyum. Cepat-cepat ia meletakkan sapunya (ia melamun sambil berdiri memegang sapu!), dan berlari kecil menuju ruang guru.
* * *
“Damn,” Darren mengumpat pelan. “Apa, Darren?”. “Oh, tak ada apa-apa, Sir. Hanya sedikit pusing”. “Pantas. Sebaiknya kau memang istirahat dulu, Darren. Masih banyak yang akan kau tempuh besok,” ujar Mr. Johannes lembut. “Iya, Sir. Terimakasih”.
Darren meletakkan buku-bukunya dan langsung menjatuhkan diri di atas kasur. Ia menjambak pelan rambutnya yang tak pernah rapi itu. Soal-soal yang dihadapinya tadi memang membuat kepalanya berat. Tapi kerinduannya pada seorang gadis gendut besuara nyaring itu juga menyiksanya.
* * *
Detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam beralih menjadi hari. Hari ini hari Senin, murid-murid Avonmore Junior High School berangkat dengan sedikit malas dan masih dibayangi keasyikan hari Sabtu dan Minggu mereka masing-masing.
Annie menatap jam tangannya dan merutuk dalam hati. Bel masuk sudah terdengar sejak sepuluh menit yang lalu. Semua murid sudah duduk di kursinya masing-masing dan sudah membaca doa, tapi satu kursi di sebelah Annie masih kosong. Rambut kucir kuda Annie menyibak keras saat ia menggeleng, membayangkan ketua organisasi siwa itu terlambat masuk. Di seberang kelas, Darren merasakan hal yang sama. Namun Evanna masih belum terlihat. Pelajaran sejarah kali ini terasa sunyi tanpa kehadiran Evanna.
“Annie. Hei, Ann!” seru Darren keras setelah bel istirahat berbunyi. “Halo, Darren,” sapa Annie mengalihkan pandangannya dari Ben Sheeran yang sedang bermain basket. “Apa kabar?” tanya Darren membuka percakapan. “Kau menanyakan kabarku atau sahabatku?” balas Annie spontan. “Eh? Umm,” desah Darren salah tingkah. “Aku tidak tahu kenapa ia tak masuk hari ini. Kemarin kami bersepeda di sepanjang Avonmore Road dan ia tak mengatakan apapun tentang sakit atau bepergian atau sebagainya,” cerocos Annie. “Mungkin ia sakit karena beberapa hari tak bertemu denganmu,” tambahnya. “Tidak, kurasa bukan karena itu. Terimakasih, Ann” ujar Darren dan ia langsung masuk ke kelas. Mukanya merah padam.
“Selamat, Darren,” suara Meg mengejutkan Darren. Meg Blacklum adalah siswi kelas sebelah yang dikenal sebagai penggemar berat ilmuan Avonmore yang satu ini. “Err, selamat untuk apa?” tanya Darren kebingunan. “Oh, ayolah. Leon sudah bercerita padaku. Kemarin kau menang, bukan? Selamat, Darren. Aku tahu kau pasti mendapatkannya,” ucap Meg dengan nada yang dibuat sedemikian rupa yang menurut Darren seperti tikus terjepit dalam pipa air.
 “Leon? Ah, dia cerita tentang banyak hal. Itu bukan hal yang patut dibanggakan, semua wakil dari sekolah kita mendapatkannya,” kata Darren sambil mengangkat bahu. Leona Wolf adalah wakil Biologi yang terkenal gemar bercerita tentang apapun, termasuk hal-hal yang dianggap tidak penting bagi sebagian besar orang. “Shut up, Darren. Aku hanya ingin memberi ucapan selamat padamu dan memujimu sedikit, tapi kalau itu mengganggumu, aku akan pergi. Terimakasih.” Meg yang berjalan angkuh meninggalkan Darren yang hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan tingkah konyol Meg.
* * *
“Sudahlah, Mum. Please jangan perlakukan aku seperti orang sakit kalau kau ingin aku cepat sembuh,” desah Eva dari balik bantal. Ibunya yang sedang meracik obat tersenyum lembut. “Tenanglah dan berhenti mengeluh, honey. Kalau kau tak ikut adikmu bermain di bawah hujan kau tak akan seperti ini”. “Dan sayangnya setiap kalimat kalau tak pernah ada gunanya karena selalu diucapkan setelah semuanya terlambat,” sahut Eva cepat. “Oh, diamlah, Kak. Aku juga sakit dan kukira akan lebih baik bagiku dan bagimu untuk tidur”. ”Shut up, Nick. Ini semua salahmu,” telunjuk Eva mengacung pada tubuh lemah adiknya yang juga demam.
“Aku selalu bermain saat hujan turun dan aku juga ingin bermain kemarin. Aku tak mengajakmu,” balas Nick ketus. “Cukup untuk perdebatan kali ini dan segeralah tidur sebelum aku berubah pikiran dan menyuruh kalian menelan batu Sungai Crushwater,” Nyonya Schneider berkata tegas. Sungai Crushwater terkenal sebagai sungai berarus deras dengan batu-batu besar. Kabarnya, batu Sungai Crushwater bisa menyembuhkan segala penyakit, tapi mempunyai rasa seperti rakun mati, serta kekerasan yang bisa membuat gigi-gigi remuk dan gusi bernanah, tanpa diketahui siapa yang pernah mencobanya.
Eva mendengar Nick mendengus keras. Hampir saja ia akan bicara sampai dilihatnya kedua mata Mum yang membelalak mengancamnya. Eva merogoh sebuah telepon genggam dari balik bantal dan terlihat olehnya ada banyak pesan yang masuk. Annie. Eva terfokus pada nama sahabatnya itu. Segera ia membalas pesan Annie yang menanyakan kabarnya. Satu hal yang membuat Eva sedikit kecewa, ia tak menemukan nama ‘Darren’ di kotak masuknya.
* * *
“Oh, God. Apa salahku pada Eva? Dasar bocah tengil menyebalkan,” umpat Darren dari pojok kamarnya. Sudah beberapa kali Darren mengirim pesan pada Eva, namun tak satupun yang dibalas. Ini sudah kali kelima dan ia mulai kesal. Dibantingnya ponsel miliknya ke atas kasur. Ia meraih kasar salah satu buku dari rak dan berpendapat membaca novel horor bisa membuatnya lebih baik.
* * *
Annie merasa sangat bahagia tiga hari terakhir. Ben Sheeran, kakak kelas IX yang jago basket itu menyapanya dua hari yang lalu, dan hal sepele macam itu bisa memunculkan euforia yang bertahan sampai seminggu lamanya. Namun, ada yang janggal hari ini. Darren dan Eva diam dan tak saling bertegur sapa. Kedua temannya itu juga jadi sangat membosankan. Ia mencoba menanyai mereka satu-
satu tapi keduanya hanya menggeleng lemas. Tak bisa menghalau rasa penasarannya, ia memaksa Eva untuk bercerita.
“Aku tak apa-apa, Ann. Aku sudah mengatakannya berulang kali padamu, aku tak apa-apa. Aku kemarin memang sakit, tapi hari ini aku sudah sembuh total. Kau tahu sendiri Mum tak akan pernah membiarkanku sekolah dengan keadaan demam, aku sudah sembuh! Tolong percayalah padaku dan berhenti menatapku seperti itu,” ujar Eva tegas. Dilahapnya sepotong coklat dari genggamannya dengan kasar.
“Kau berkata seakan aku tak kenal kau. Berdusta pada sahabatmu adalah hal bodoh yang percuma, Eva. Berhentilah berbohong dan katakan apa yang terjadi padaku,” Annie merangkul Eva. “Kau benar, Ann,” Eva mengangguk. “Tapi mungkin aku memang makhluk terbodoh yang pernah kau jumpai. Annie, aku sedang marah dengannya dan ia tak mengucap maaf padaku,” cerita Eva dengan kepala tertunduk.
“Dengannya? Darren?” tanya Annie penuh selidik. Evannna memperlahan kecepatan mengunyah coklatnya dan mengangguk kecil. Ia menceritakan kekesalannya pada Darren yang tak mengirim satu pesan pun kepadanya saat ia sakit.
“Astaga, ini gila!” seru Annie sembari bangkit dari kursinya tepat setelah Eva menceritakan kekesalannya. “Ada apa? Harusnya aku yang mengucap ‘ini gila’, bukan kau”. “Ah, aku bingung, Ev. Tadi malam Darren mengirimiku pesan dan-“ “Tidak adil! Kenapa dia tak melakukan hal yang sama padaku?” Eva berteriak keras, menyela perkataan sahabatnya. “Kau menyelaku,” keluh gadis berkucir kuda itu kesal.
“Maaf,” ujar Eva segera. “Apa yang dikatakannya?” tanya Eva hati-hati, tak ingin melukai hati sahabatnya. “Darren mengeluh padaku semalam. Ia mengatakan padaku telah mengirimkan pesan untukmu sampai tujuh kali, tapi tak ada satupun yang mendapat balasan. Bertolak keras dengan apa yang baru saja kau ceritakan,” ujarnya bingung dan kemudian menggelengkan kepalanya keras tanda bingung. Rambut kucir kudanya mengenai pipi Eva.
“Aneh,” gumam Eva pelan. “Lalu, bagaimana?” tanya Ann. “Ah, sudahlah. Kurasa itu bukan suatu hal penting,” jawab Eva masih dengan suara pelan. “Ann,”. “Ya?”. “Kau mau menemaniku nanti sore? Aku baru saja teringat suatu hal penting dan aku rasa akau harus pergi sebentar sore ini. Kau mau menemaniku, Ann?”. “Whenever, Babe,” balas Annie senang sahabatnya sudah mulai tersenyum kembali.
“Thanks a lot, Ann. Aku tak tahu sehancur apa aku tanpa kau, -dan coklatku,” tambah Eva cepat. Annie tertawa dan meremas tangan Eva. “Sekarang aku yang menyelidikimu, Ann”. “Eh, apa?”. “Bisa kau ceritakan kenapa kau terlihat sangat bahagia akhir-akhir ini?”. “Umm, aku tak tahu. Kurasa melihat kau bahagia juga membuatku bahagia. Bagaimana menurutmu?”. “Hm, tidak juga. Kurasa kau tak akan bahagia bila aku mengusulkan agar kelas kita jauh dari lapangan basket,” ujar Eva menggoda. “Hah? Hei, diam Evanna Schneider, atau kujelali mulutmu dengan setruk batu Crushwater!” jerit Annie keras. Dikejarnya Eva yang sudah berlari menghindari amukan Annie.
* * *
Pagi ini Darren memacu sepedanya menuju sekolah dengan kecepatan ganda. Rumah Darren bersebelahan dengan Hotel Baverlies, dan terbilang cukup dekat dengan Avonmore Junior High School. Hal itulah yang membuatnya memilih sepeda kayuh sebagai kendaraannya pulang pergi sekolah. Entah apa yang merasukinya hari ini, ia merasa sangat bersemangat. Padahal, ia masih saling melakukan aksi kunci mulut dengan Eva, yang sampai saat ini belum membalas satupun pesan darinya. Darren memasuki gerbang sekolah, menyandarkan sepedanya, kemudian melangkah cepat menuju kelas.
“Hai, Claire,” sapa Darren pada salah seorang teman sekelasnya. “Halo, Dare. Baru saja aku dititipi pesan agar kau menemui Mr. Daimler –segera!”. “Damn, aku baru saja sampai!” keluh Darren. “Kalau kau ingin protes, proteslah pada Mr. Daimler. Aku hanya dititipi pesan”. “Kau benar, Claire. Aku akan protes padanya.Bye, Claire,” seru Darren sambil berlari meninggalkan kelas.
Ed datang bersamaan dengan Eva, mereka bertemu di gerbang. “Kau sudah menyelesaikan bagianmu, Claire? Berikan padaku sapunya,” seru Ed melihat Claire yang sedang berjalan hendak meletakkan sapu, yang kemudian berbalik setelah mendengar seruan Ed. “Bukankah ini tas milik Darren? Dimana dia sekarang?” tanya Ed. “Mr. Damiler memanggilnya, Ed. Sekarang lebih baik kau segera menyapu bagianmu, -dan kau juga, Evanna,” perintah Claire. Evanna sedang mengambil sebuah bungkusan dari tasnya dan memasukkannya ke dalam tas milik Darren. Hari ini tanggal dua Agustus –hari ulang tahun Darren!
Eva sudah membeli kado bersama Annie kemarin sore, dan membungkusnya sendiri berjam-jam. Gadis yang selalu memakai kerudung itu merasa sikap Darren padanya akan membaik setelah membuka kado itu –lihat saja!
“Evanna Schneider, kau sedang apa? Memasukkan santet kedalam tas Darren? Oh, pantas saja Leon berkata padaku bahwa tas Darren dilindungi mantra anti guna-guna!” teriak Dick histeris dari dekat pintu. “Aku hanya –apa? Aku tak bermain santet, enak saja!” Eva balas berteriak. Dengan hati-hati ditutupnya kembali resleting tas milik Darren, kemudian mengambil salah satu sapu dari dua sapu yang tersisa.
Eva meletakkan sapunya setelah selesai mengerjakan tugas hari Kamisnya. “Permisi,” terdengar suara seorang gadis dari balik pintu. Claire yang duduk paling dekat pintu segera bangkit dan menemui gadis itu. Shafra!, seru Eva dalam hati. Shafra merupakan salah satu siswi berjilbab selain Eva di Avonmore. Eva segera menghampirinya.
“Oh, kau sudah kemari tanpa perlu kupanggil, Ev. Segeralah kau menemui Bu Gendut sebelum kau dimakannya. Shafra berkata kau telah ada janji dengannya,” ujar Claire. Shafra tersenyum kecil melihat Eva. “Astaghfirullah, aku lupa aku ada janji dengannya hari ini! Thanks, Claire. Thanks juga, Shafra. Bye,” seru Eva cepat sambil meraih tasnya, kemudian berlari menuju Mrs. Maylie.
Kemarin Mrs. Maylie –atau yang biasa disebut ‘Bu Gendut’ di kalangan siswi Avonmore- sudah menghubunginya dan berkata bahwa akan ada penyuluhan tentang bahaya AIDS di Olympia, dan Eva
harus berangkat kesana menjadi wakil dari Avonmore Junior High School dengan Bu Maylie. Eva melihat samar-samar Bu Maylie sedang berkacak pingang di depan ruang guru, dan dapat merasakan kedua mata Bu Maylie menatap tajam ke arahnya. Ia tak menyangka keberangkatannya akan sepagi ini. Sementara itu, bel masuk berbunyi dan Darren sudah sampai kelas.
Pelajaran-pelajaran di hari Kamis adalah kumpulan-pelajaran-yang-paling-tidak-menyenangkan menurut dua puluh anak kelas II A. Tiga jam yang pertama adalah aritmatika dan sejarah. Maka dari itu, saat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh dan bel istirahat berbunyi, semua murid mengucap syukur dan segera berlari meninggalkan kelas.
Tetapi tidak dengan Darren. Hari ini ia tidak menemukan Eva di bangku sebelah Annie. Ia mencoba tak memikirkan hal ini dan memikirkan tentang bungkusan-bungkusan dalam tasnya yang membuat ia kesulitan mengambil penanya. Darren terperanjat. Ia baru sadar ini hari ulang tahunnya. Beruntung kelas dalam keadaan tidak ada orang –kecuali Darren sendiri-, sehingga ia bisa membuka bungkusan-bungkusan itu dengan tenang.
Darren meraih bungkusan yang menyembul dari dasar tas. Bungkusan yang panjang dan dibungkus dengan kertas koran! Darren menyangka yang meletakkan ini di tasnya mungkin sudah kurang ajar. Astaga, teleskop! Darren sudah lama sekali menginginkan ini tetapi belum kesampaian. Hingga hari ini, -ia mendapatkannya! Darren tak berhenti bersyukur, ia baru saja akan membelinya sepulang sekolah dengan uang hasil lombanya kemarin, tapi itu tak perlu, Darren sudah memilikinya tanpa perlu susah payah. Ia mencari kertas ucapan untuk mengetahui siapa pemberi hadiah ini sebenarnya, tapi nihil. Kemudian tertangkap oleh pandangannya secari kertas kecil berwarna biru di lantai. Diraihnya dan dibacanya kertas itu.
‘Selamat Ulang Tahun, Darren. Kurasa kau akan terkejut melihat kado dariku ini –aku yakin kau akan menyukainya. Kado ini tak ada apa-apanya dibandingkan besarnya arti kehadiranmu untukku –lebih besar dari batu-batu sungai Crushwater! Aku harap kau mau memaafkanku jika aku punya salah padamu, apapun itu, aku minta maaf. Be succes, Darren. Aku menyayangimu’, Darren selesai membaca ketikan di kertas itu dan tak menemukan sedikit identitas dari si pemberi kado. Inisial atau tanda tangan pun tidak! Tapi dari bahasa yang digunakan serta kalimat yang disampaikan, Darren hampir yakin ia mengetahui siapa pemberi kado.
“Darren, kau sedang apa?” tanya seseorang mengejutkan Darren. “Oh, hai, Ann. Aku membuka kado,” jawab Darren cepat. Diletakkannya teleskop baru itu diatas meja dan ia membereskan kertas koran pembungkusnya. “Teleskop? Great. Kau pasti sangat senang,” kata Annie. “Darimana kau tahu aku menginginkan sebuah teleskop?” tanya Darren kaget. Annie terhenyak melihat ekspresi kaget Darren dan menjawab santai, “Ev menceritakannya padaku”.
Otak Darren berpusing cepat. Diawasinya Annie yang sedang duduk sambil menghabiskan sandwich yang baru saja dibelinya. Darren mengira hanya Eva yang mengetahui ambisinya pada teleskop, sehingga hanya Eva yang mungkin memberinya teleskop. Tetapi ternyata Annie juga mengetahuinya dan Darren tak menemukan Eva hari ini! Darren masih memerhatikan Annie yang sedang tersenyum-senyum
sambil mengarahkan pandangan ke lapangan basket. Kepala Darren pusing. Jangan-jangan bukan Eva yang memberinya teleskop –melainkan Annie!
* * *
Eva melangkah santai hari Jumat itu, membayangkan senyum bahagia Darren karena kado darinya. Darren pasti akan berterimakasih padanya dan mengatakan bahwa ia sudah sangat lama menginginkannya. Atau mungkin, Darren akan mengajaknya melihat bintang di rumahnya nanti malam! Eva begitu bahagia meski hari ini ia berangkat agak telat.Tadi pagi ia mengurusi Sofi, adik bungsunya, karena Mum sedang kurang enak badan. Begitu sampai kelas, Eva terlonjak. Darren sedang mengobrol dengan seorang gadis dan tertawa keras bersama. Gadis itu agak kurus dan berkucir kuda, -gadis yang bernama Shreannie Twist!
Eva melangkah duduk ke bangku sebelah Annie dengan kesal. Diliriknya kedua sahabatnya itu, Darren memberi Eva tatapan sadis! Oh, Eva sama sekali tak tahu ada apa dengannya hingga semua jadi begini. “Halo, Ev. How’s life?” sapa Annie yang rupanya baru menyadari kedatangan Eva. “So bad,” Eva menjawab pelan dan mendengus keras. Ia sama sekali tak menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan Annie dan menghindari tatapan tajam Darren seharian ini. Sangat berbeda dengan apa yang dibayangkannya!
Darren semakin menjauhi Eva seminggu terakhir dan Eva juga takut untuk mendekati Darren. Penghuni kelas juga merasa ada yang aneh pada mereka saat mereka tak menimbulkan keributan seperti biasanya. Eva menghabiskan banyak coklat akhir-akhir ini, dan ia anehnya juga merasa sedikit sebal pada Annie. Ia merasa sangat aneh. Susah untuk mengetahui apa yang sebenarnya orang lain pikirkan.
* * *
Merasa tersiksa dengan jarak yang semakin terbentang antara ia, Darren, dan Annie, Eva memutuskan untuk memberikan sebungkus coklat maaf untuk mereka berdua. Eva merasa ini jalan yang paling baik. Ia membeli dua Hans Chocolate batang yang biasa ia bawa ke sekolah, dan menulisi bungkusnya dengan huruf besar-besar, ‘Tolong Maafkan Aku’ menggunakan spidol permanen. Eva meletakkan dua coklat itu masing-masing satu di tas Darren dan Annie pada jam istirahat, kemudian berlari menuju perpustakaan. Mungkin sebuah komik lucu dapat menghiburku, batin Eva sedih.
* * *
Darren menemukan sebunguks Hans Chocolate dan kertas bertuliskan permintaan maaf di tasnya begitu sampai di rumah. Darren langsung teringat pada Eva, dan yakin cokelat itu pemberian darinya. Tapi Darren sedang kesal pada Eva. Eva tak membalas pesannya, tak pernah mengirim pesan lain atau meneleponnya, bahkan tak pernah menyapa atau mengajaknya bicara. Saat hari ulang tahunnya kemarin lalu, Eva juga tak terlihat batang hidungnya.
Come back and tell me why I’m felin’ like I’ve missed you all this time..., Darren terhenyak dari lamunannya, suara kutipan lagu itu terdengar cukup keras. Taylor Swift, batin Darren sebal. Taylor Swift
adalah penyanyi kegemaran adiknya, Lynn, dan juga idola Eva. Eva, Darren mendengus jengkel. Dicarinya sumber suara penyanyi Country asal Amerika itu.
“Hah, dasar,” umpat Darren begitu matanya menangkap ponsel adiknya tergeletak di antara novel-novel horor koleksi Darren. Tak salah lagi, Lynn pasti menyelinap membaca atau malah menguntit novel milik Darren. Dasar anak kecil, bati Darren kesal dan sedikit geli. Rupanya ada yang menelepon adiknya sehingga ponsel itu berbunyi. Darren melihat layar handphone memastikan siapa yang menelepon adiknya. Matanya terbelalak melihat siapa nama yang tertera di sana. Darren menekan tombol mengangkat telepon itu. Nama penelepon itu terpampang jelas di layar. Evanna Schneider.
Darren memutuskan sambungan ponsel Eva tanpa tahu mengapa ia melakukannya. Terang saja ia semakin sebal pada Eva. Pintu kamar Darren membuka dengan suara keras, Lynn ada dibaliknya.
“Darren, aku mendengar suara ponselku dari kamar ini. Cepat kembalikan,” seru Lynn cepat. “Siapa suruh menguntit novelku dan meninggalkan handphone begitu saja? “ serang Darren. “Ambil ponselmu dan segeralah pergi,” perintah Darren sembari melemparkan ponsel Lynn ke atas kasur. Ia benar- benar sebal. Ia tahu adiknya memang dekat dengan Eva tapi mengapa semua jadi terasa tak adil? Eva tak membalas satupun pesannya dan malah menelepon adiknya.
* * *
Hari ini sangat kelabu, awan gelap tebal menggelantung kuat pada hamparan lazuardi. London gempar oleh cerita pembunuhan berantai sekeluarga di sebuah rumah dekat Hotel Great Avonmore. Annie berangkat ke sekolah pada jam yang sudah sangat siang dengan mata sembab. Darren yang sudah datang sejak tadi menyapanya.
“Halo, Ann. Kau menangis? Apakah Ben Sheeran memutuskanmu atau apa?” goda Darren. Annie semakin sesenggukan melihat Darren. Diseretnya tangan Darren. “Hei, kau mau kemana? Menjadikanku tumbal agar kau jadi setinggi Ben? Oh, sudahlah. Ini konyol, Ann,” ujar Darren mencoba bercanda.
Annie memasuki ruang teknologi dan menyalakan satu laptop terdekat. “Berhenti bertingkah aneh dan bicaralah kepadaku, Ann. Bel masuk sudah berbunyi, tak dengarkah kau? Aku tak bisa tahu apa maumu. Membuka e-mail –kau ingin apa sebenarnya? Oh, Ann, kita sudah masuk!” teriak Darren tegas. Annie membuka akun surat elektronik miliknya dan menunjukkan salah satu surat yang diterimanya pada Darren. Darren melihat nama pengirim surat itu –Lynn Dawkins! Ia merasa sangat janggal tapi memutuskan untuk diam dan membaca dengan tenang sampai selesai.
Kak Ann, aku mengirimkan e-mail dari Kak Eva semalam. Tolong dibaca ya, Kak.
“Untuk Lynn
Lynn, aku tak tahu kenapa aku bisa merasa sangat sayang kepada Darren, kakakmu, sebagaimana aku menyayangi Annie. Aku mengira dia juga menyayangiku, tapi kemudian aku berubah pikiran saat kakakmu tak mengirimiku satu pesan pun saat aku sakit. Esoknya, Ann memberitahuku kalau Darren mengeluh tak satupun pesannya mendapat balasan dariku padahal ia mengkhawatirkan keadaanku.
Aku mengecek kotak masuk di ponselku beberapa kali dan tak menemukan namanya, lalu aku mulai berpikir salah satu dari mereka –Darren atau Annie- berbohong kepadaku.
Kemudian aku mengotak-atik ponselku dan kau tahu apa, Lynn? Aku menemukan sepuluh pesan di kotak spam yang kesepuluhnya adalah pesan dari Darren! Oh, betapa kaget dan bersalahnya aku saat itu. Beberapa waktu setelah itu, Nick –adikku yang di sekolah dasar, kau tahu kan?- mengaku telah memainkan ponselku selama satu jam tanpa tahu apa yang ia lakukan. Aku ingin meminta maaf tapi sikap Darren begitu dingin padaku dan aku takut. Ia jadi semakin dingin setelah hari ulang tahunnya.
Aku berpikir keras tentang apa yang salah dengan kado yang kuberikan. Teleskop adalah benda yang paling diinginkannya! Aku benar-benar bingung sampai akhirnya kau memberi tahu kepadaku kalau Darren mengira teleskop itu dari Shreannie Twist, sahabat paling dekatku sendiri. Aku serasa mau mati mendengarnya!
Dan aku jadi merasa sangat sebal dan marah pada Annie. Aku tak menghiraukan semua bujukannya agar aku mau bicara lagi dengannya, aku bodoh! Annie bahkan mungkin tak tahu kalau Darren mengira teleskop itu darinya. Oh, sekarang aku benar-benar malu menyadari aku marah kepada Ann hanya gara-gara Darren! Tidak, aku tak menyalahkan kakakmu, Lynn, akulah yang bodoh.
Kemarin lusa -atau entah kapan aku lupa- aku memberi sebungkus Hans Chocolate yang kutulisi “TOLONG MAAFKAN AKU” pada Darren dan Annie, tapi tak ada tanggapan. Lynn, bodohnya aku tak meminta maaf secara langsung. Tololnya aku terlalu malu pada Darren dan Annie, dua orang yang sangat aku sayang. Lynn, aku bahkan telah menangis sepanjang malam meratapi ketololanku!
Mataku selalu basah memikirkan itu. Eh, Lynn, kau tau Shafra? Gadis berkerudung kelas tujuh di Avonmore Junior High School? Dia sekelas denganmu, bukan? Kemarin lalu dia bercerita padaku kakeknya di Hartfordshire tertembak mati. Pemberantasan muslim, katanya. Dengarkan ini, Lynn, pemberantasan muslim! Memangnya kami hama yang merugikan? Oh, bukankah baik bagi kita untuk hidup rukun dan saling menghargai seperti di Avonmore School? Aduh, aku jadi sedikit was-was sekarang.
Sudah dulu, ya, Lynn. Aku mendengar keributan di luar. Aduh, ada suara seperti bunyi pistol! Aku akan ke beranda, tolong sampaikan maafku kepada kakakmu, ya? Aku ingin persahabatanku dan dia dapat segera pulih. Aku minta tolong dengan sangat agar kau mau membantuku, Lynn.
Oh, aku harus segera keluar kurasa, Sofi baru saja menjerit dan aku harus memeriksanya. Terimakasih, Lynn. Bye.” .E.S.
Penglihatan Darren mulai tidak jelas tapi ia memaksakan diri untuk melanjutkan membaca. Surat dari Eva sudah habis dan dilanjutkan oleh kalimat-kalimat dari adiknya sendiri.
Kak Ann, aku mendapatkan e-mail ini dari Kak Eva tadi malam, tapi aku baru saja membacanya pagi ini. Aku memang pengagum beratnya dan sering berkirim e-mail dengannya. Aku ingin bercerita pada
Darren tapi ia sudah berangkat. Oh, iya, hari ini aku tak berangkat karena sedang flu berat. Kau selalu berangkat agak siang, kan, Kak? Setidaknya kau bisa membaca ini sebelum sampai di sekolah.
Aku baru saja membaca koran dan aku menangis. Segera aku mengirimkan ini padamu. Apakah kau berlangganan koran, Kak Ann? Aku menangis dan menangis sampai sekarang, Kak. Kak Ann aku benar-benar tak percaya. Keluarga Schneider ditembak mati seluruhnya, dan rumah mereka yang berada di dekat Hotel Great Avonmore terbakar habis. Bayangkan, -seluruhnya! Keluarga kak Eva! Kak, aku masih menangis. Kak Eva adalah gadis yang baik dan aku yakin semua keluarganya juga baik, kenapa mereka harus ditembak? Apa karena perbedaan keyakinan? Oh, ini kejam! Kak, aku tak tahu harus berkata apa padamu, aku hanya ingin mengirimkan surat dari Kak Eva ini. Kurasa aku hanya ingin menangis terus dan terus. Oh, sudahlah -bye, Kak.”
Annie menangis keras dari tadi dan berlutut di lantai. Darren tak bisa merasakan apa-apa, dunia menjadi gelap dan berputar-putar. Ia merasakan organ-organ tubuhnya jatuh dan menghilang dari tubuhnya. Hujan mulai turun. Darren merogoh sebungkus Hans Chocolate yang masih utuh dari sakunya. Cokelat itu adalah cokelat yang paling pahit bagi Darren.
* * *