Kamis, 14 November 2013

Pahlawan yang Kurang Beruntung



Pahlawan yang Kurang Beruntung
Lina Juhaidah

“Ti, Surti! Surti...” Suara teriakan Bapak terdengar sangat keras seperti biasanya. Lagi-lagi, memanggil nama ibuku. Aku yang sedang asyik bergelut dengan dunia bakteri, virus, dan teman-teman mikroorganisme lainnya dengan terpaksa harus menutup buku Campbell tebal yang kupinjam dari perpustakaan sekolah tempat dunia itu berada.

Aku melangkah menuju kamar Bapak dan menatap Bapak dari dekat daun pintu kamarnya. Bapak seperti sedang menjangkau meja di sebelahnya. ”Surti?”. Aku tak merespon pertanyaan yang ia lontarkan tanpa menoleh padaku. Aku hanya menatapnya lurus-lurus. Mengawasinya. Seketika itu juga terlintas di benakku tentang pembelajaran Bahasa Indonesiaku pagi tadi.

###
Dua hari lagi, Hari Pahlawan nasional. Untuk itu, ibu mau hari ini kalian maju satu-satu untuk mempresentasikan tentang pahlawan menurut kalian, juga berikan satu contoh. Siapapun itu, terserah menurut opini kalian. Ibu yakin setiap orang pasti punya definisi pahlawan masing-masing, juga punya pahlawan masing-masing”. Bu Umu, guru Bahasa Indonesiku berucap lembut. Topik yang sedikit klise, menurutku

Kuperhatikan siswa di depanku mulai sibuk menggoreskan penanya di atas selembar kertas. Entah apa mungkin dia membuat poin yang akan diucapkannya atau menulis surat cinta. Sementara seorang gadis yang duduk di samping kananku mulai membuka diskusi antarsiswi yang berisik

Sst, Agus. Gus, Agus, hadap sini bentar, dong,”

Suara bass dari belakang punggungku mendesiskan namaku, merangsang kepalaku untuk berputar ke belakang beberapa derajat. “Gus, lu mau ngoceh apa nanti?” tanya Ryan, siswa bertubuh gempal itu. Bibirku membuat cengiran polos. “Entahlah,” jawabku sekenanya.

 Gelagat gelisah Ryan rupanya tercium  oleh Bu Umu dan membuatnya berkata, “Ryan mau maju sekarang?”.

Aku yang sudah menghadapkan wajahku ke papan tulis mendengkar Ryan ber’ya’ denan suara beratnya. Sekalipun otaknya terus member sinyal bahwa tak ada konsep pahlawan dalam otaknya, kegengsian dan harga diri jelas menyogoknya untuk maju. Bukan tanpa bukti aku menyimpulkan ini, aku melihat bulat hitam matanya tak henti bergerak ke sisi pojok kanan depan kelas tempat Ratri, siswi tercantik di kelas kami, bersinggasana.

“Pahlawan menurut saya adalah orang yang telah menyelamatkan orang lain,” ujar Ryan ragu-ragu. Aku menangkap sudut matanya mengintip anggukan kecil Ratri dan dia tersenyum.

Pahlawan itu banyak. Salah satunya adalah Bung Tomo. Bayangkan saja, dia begitu berani dan bersemangat mengobarkan semangat penduduk Kota Surabaya untuk merebut kembali wilayah mereka yang telah diserang habis-habisan oleh tentara Belanda. Karena keberanian dan semangat patriotismenyalah, tanggal sepuluh November, tanggal dimana ia berperang, dijadikan tanggal Hari Pahlawan Nasional,” cerocos Ryan berapi-api. Lebih terdengar seperti guru IPS yang mengajarkan sejarah Hari Pahlawan ketimbang mengungkapkan arti pahlawan, menurutku. Akan tetapi guru Bahasa Indonesiaku yang terkenal baik itu memberinya senyum ramah dan memintanya kembali duduk.

Berikutnya, Enik,kata Bu Umu singkat seraya memfokuskan tatapannya pada Enik, gadis berkucir dua yang duduk di sebelah kananku. Dengan berat hati Enik mengintruksi pasukan diskusi antarsiswinya untuk membubarkan diri, kemudian ia maju ke depan kelas.

“Definisi pahlawan menurut saya yaitu adalah orang yang telah membawa manfaat bagi sebagian besar orang. Menurut versi saya ada banyak, sih. Tetapi kalau di lingkup Indonesia salah satu contohnya adalah Yohanes Surya,ia memandang sekeliling beberapa saat.

“Di tengah maraknya krisis yang terjadi di Indonesia, saat Indonesia mulai banyak diremehkan dunia, dia berusaha menunjukkan sisi positif dari Indonesia. Tanpa pamrih ia membimbing anak-anak Indonesia untuk menjadi Juara Dunia. Dan ya, anak-anak yang dibimbingnya hampir semua berhasil  di ajang internasional. Dia berusaha memberi pengertian bahwa kita bisa mecetak sesuatu yang baik bila memang kita mau. Sayang, masih banyak yang kurang menghargai atau bahkan tidak peduli dengan apa yang telah ia lakukan”.
Enik mendapat tepuk tangan meriah. Ia menunduk mencoba merendah. 

Seiring waktu berlalu, satu-persatu anak di kelasku maju menjabarkan ‘pahlawan’ dengan versi yang bervariasi. Contoh yang diberikan juga beragam. Ada yang menyebutkan Sultan Hasanudin, Isaac Newton, sampai Barack Obama.
Aku menunggu giliranku dengan tenang, tanpa sedikitpun tegang. Aku rasa pahlawan yang akan kuceritakan nanti tidak akan sehebat Kartini, Habibie, Avicenna, atau Ki Hajar Dewantara. Tidak pula sehebat Pak Joko, guru matematika yang sangat berjasa dalam hal menjaga kualitas nilai matematika sekolah kami sekalipun. Tetapi aku merasa opiniku tidak salah. Memangnya ada pendapat yang salah? Aku tersenyum memikirkan pertanyaan konyol retoris ini.

Sepertinya senyum kecilku mengundang hasrat Bu Umu untuk menyuruhku maju ke depan. Kemudian aku melangkah gontai, pasrah akan apa pun respon yang akan kudapatkan nanti.

“Pahlawan itu, err.. seseorang yang telah membawa manfaat tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Tak peduli apakah itu berarti merelakan segala yang ia punya. Asalkan tujuannya baik, ia mau berkorban,” ucapku sedikit tersendat. Aku juga tak tahu angin apa yang menghembuskan kegugupan padaku, walaupun hanya sedikit.

“Pahlawan itu terlalu banyak untuk dijabarkan. Bahkan kita bisa saja menyebut semua orang adalah pahlawan karena memang hampir semua orang punya peranan bagi orang lain di sampingnya, membuatnya pantas disebut pahlawan meski dalam skala yang kecil,” aku bertutur perlahan sambil tak lupa melirik sekilas-sekilas pada Bu Umu. Bu Umu baik hati tapi kritis, tak suka pada anak yang menjawab asal. Aku tak melihat gelagat yang berubah dari beliau maka aku melanjutkan kalimatku. 

“Satu-satunya pahlawan yang kuanggap riil dan benar-benar bisa aku menyebutnya pahlawan adalah..”
“…Bapakku sendiri”.

Aku bisa merasakan tatapan tajam Enik seakan merontgenku, tak percaya apa yang kukatakan barusan. Mungkin ia menyipulkan bahwa aku tak mendengarkan presentasi-presentasi ‘pahlawan’ sebelumku. Cepat-ceppat aku melanjutkan kembali kalimatku yang belum benar-benar selesai.

“Bapak memang bukan pahlawan bagi banyak orang, tapi setidaknya dia adalah tipe pahlawan bagiku. Rela berkorban, tulus, dan berjasa demi orang yang dia saying. Dalam konteks ini, yang kumaksud adalah ibuku. Beliau rela meninggalkan kekayaanya di kota, demi menemani ibuku untuk menghabiskan hidup bersama di desa”. Lagi-lagi, aku memberi jeda, memancing penasaran audiens tanpa kusengaja. Aku merasa gugup, atau canggung, atau entah apa yang menerorku aku tak tahu.

“Tiga tahun lalu, saat ibuku divonis menderita gagal ginjal, Bapak dengan sukarela mendonorkan ginjalnya pada ibu, berusaha menyelamatkan ibu. Tanpa pamrih sedikitpun. Bapak adalah orang yang baik, beliau juga selalu sabar dalam merawatku. Terlebih saat ibuku sakit, ia benar-benar mencurahkan seluruh kasih sayangnya padaku dan ibuku. Sepertinya cukup, terimakasih”.

Seisi kelas memandangku penuh tanya, namun Bu Umu tersenyum dan bertepuk tangan. Sepertinya ia menyukai keberanianku untuk menjadi berbeda, atau cara penyampaianku yang mungkin terdengar terlalu jujur. Aku tak peduli. Aku cukup senang saat kemudian teman-teman lain ikut bertepuk tangan menemani Bu Umu.
 ###
“Surti?”

Suara Bapak mengusikku. Menarikku kembali dari alam pikiranku ke tempat dimana aku bepijak saat ini. Aku menghampiri Bapak yang menggapai-gapai meja, dan kuraih tangannya sebelum seluruh komponen di atas meja tersentuh  olehnya. Aku belum sempat memindahkan benda-benda itu, tapi sesegera mungkin akan kulakukan. Aku tak mau benda itu remuk seperti benda-benda lain yang telah mencicipi genggaman tangan Bapak.

“Surti dimana?” Bapak bertanya setelah menyadari aku bukan orang yang ia harapkan kedatangannya. Aku tersenyum kalut memandangi Bapakku, pahlawanku. 

Aku selalu menganggap Bapak sebagai pahlawan. Pahlawan yang kurang beruntung, lebih tepatnya.

Aku yakin bahwa Bapak sebenarnya sudah pernah tahu bahwa transplantasi ginjal yang didapatkan Ibu tak berujung baik. Ginjal Bapak tak berfungsi dengan benar di tubuh ibu, dan malah memperparah keadaannya. Aku juga tahu Bapak menyaksikan sendiri kematian ibu tiga bulan setelah pendonoran ginjal itu.

Tapi aku juga sungguh sangat tahu, bahwa Bapak, pahlawan yang berjuang menyelamatkan ibuku tanpa pamrih, Bapakku yang selalu baik itu, sangat mencintai ibuku lebih dari segalanya. Aku tahu pula bila Bapak berubah semenjak ibu pergi. Mungkin saja ibu ikut membawa separuh jiwa Bapak, hingga sekarang aku menganggap Bapak telah menjadi gila.
###