Pahlawan yang Kurang
Beruntung
Lina Juhaidah
“Ti,
Surti! Surti...” Suara teriakan Bapak terdengar sangat keras seperti biasanya. Lagi-lagi,
memanggil nama ibuku. Aku yang sedang asyik bergelut dengan dunia bakteri,
virus, dan teman-teman mikroorganisme lainnya dengan terpaksa harus menutup buku
Campbell tebal yang kupinjam dari perpustakaan sekolah tempat
dunia itu berada.
Aku melangkah menuju kamar
Bapak dan menatap Bapak dari dekat daun pintu kamarnya. Bapak seperti sedang
menjangkau meja di sebelahnya. ”Surti?”. Aku tak merespon pertanyaan yang ia
lontarkan tanpa menoleh padaku. Aku hanya menatapnya lurus-lurus. Mengawasinya.
Seketika itu juga terlintas di benakku tentang pembelajaran Bahasa
Indonesiaku pagi tadi.
###
“Dua
hari lagi, Hari
Pahlawan nasional.
Untuk itu, ibu mau hari ini kalian maju satu-satu untuk mempresentasikan tentang
pahlawan menurut kalian, juga berikan satu
contoh. Siapapun
itu, terserah menurut opini kalian. Ibu yakin setiap orang pasti punya
definisi pahlawan masing-masing, juga punya pahlawan masing-masing”. Bu Umu, guru Bahasa Indonesiku berucap
lembut. Topik yang sedikit klise, menurutku.
Kuperhatikan siswa di depanku
mulai sibuk menggoreskan penanya di atas selembar kertas. Entah apa mungkin dia
membuat poin yang akan diucapkannya atau menulis surat cinta. Sementara seorang gadis yang
duduk di samping kananku mulai membuka diskusi antarsiswi yang berisik.
“Sst, Agus. Gus, Agus, hadap
sini bentar, dong,”
Suara bass dari belakang
punggungku mendesiskan namaku, merangsang kepalaku untuk berputar ke belakang
beberapa derajat. “Gus, lu mau ngoceh apa nanti?” tanya Ryan,
siswa bertubuh gempal itu. Bibirku membuat cengiran polos. “Entahlah,” jawabku
sekenanya.
Gelagat gelisah Ryan rupanya
tercium oleh Bu Umu dan membuatnya
berkata, “Ryan mau maju sekarang?”.
Aku yang sudah menghadapkan wajahku ke papan tulis mendengkar Ryan
ber’ya’ denan suara beratnya. Sekalipun otaknya terus member sinyal bahwa tak ada
konsep pahlawan dalam otaknya, kegengsian dan harga diri jelas menyogoknya
untuk maju. Bukan tanpa bukti aku menyimpulkan ini, aku melihat bulat hitam
matanya tak henti bergerak ke sisi pojok kanan depan kelas tempat Ratri, siswi
tercantik di kelas kami, bersinggasana.
“Pahlawan menurut saya adalah orang yang telah menyelamatkan
orang lain,” ujar
Ryan ragu-ragu. Aku menangkap sudut matanya mengintip anggukan kecil Ratri dan
dia tersenyum.
“Pahlawan
itu banyak. Salah satunya adalah Bung Tomo. Bayangkan saja,
dia begitu berani dan bersemangat mengobarkan semangat penduduk Kota Surabaya
untuk merebut kembali wilayah mereka yang telah diserang habis-habisan oleh
tentara Belanda. Karena keberanian dan semangat patriotismenyalah,
tanggal sepuluh November, tanggal dimana ia berperang, dijadikan tanggal Hari
Pahlawan Nasional,” cerocos Ryan berapi-api. Lebih terdengar seperti guru IPS
yang mengajarkan sejarah Hari Pahlawan ketimbang mengungkapkan arti pahlawan,
menurutku. Akan tetapi guru Bahasa Indonesiaku yang terkenal baik itu
memberinya senyum ramah dan memintanya kembali duduk.
“Berikutnya, Enik,” kata Bu Umu
singkat seraya
memfokuskan tatapannya pada Enik, gadis berkucir dua yang duduk di sebelah
kananku. Dengan
berat hati Enik mengintruksi pasukan diskusi antarsiswinya untuk membubarkan
diri, kemudian ia maju ke depan kelas.
“Definisi pahlawan menurut saya yaitu
adalah orang yang telah membawa manfaat bagi sebagian besar orang. Menurut versi saya ada banyak,
sih. Tetapi kalau di lingkup Indonesia salah satu contohnya adalah Yohanes
Surya,” ia
memandang sekeliling beberapa saat.
“Di
tengah maraknya krisis yang terjadi di Indonesia, saat Indonesia mulai banyak
diremehkan dunia, dia berusaha menunjukkan sisi positif dari Indonesia. Tanpa
pamrih ia membimbing anak-anak Indonesia untuk menjadi Juara Dunia. Dan ya,
anak-anak yang dibimbingnya hampir semua berhasil di ajang internasional. Dia berusaha memberi
pengertian bahwa kita bisa mecetak sesuatu yang baik bila memang kita mau.
Sayang, masih banyak yang kurang menghargai atau bahkan tidak peduli dengan apa
yang telah ia lakukan”.
Enik
mendapat tepuk tangan meriah. Ia menunduk mencoba merendah.
Seiring
waktu berlalu, satu-persatu anak di kelasku maju menjabarkan ‘pahlawan’ dengan
versi yang bervariasi. Contoh yang diberikan juga beragam. Ada yang menyebutkan
Sultan Hasanudin, Isaac Newton, sampai Barack Obama.
Aku
menunggu giliranku dengan tenang, tanpa sedikitpun tegang. Aku rasa pahlawan
yang akan kuceritakan nanti tidak akan sehebat Kartini, Habibie, Avicenna, atau
Ki Hajar Dewantara. Tidak pula sehebat Pak Joko, guru matematika yang sangat
berjasa dalam hal menjaga kualitas nilai matematika sekolah kami sekalipun.
Tetapi aku merasa opiniku tidak salah. Memangnya ada pendapat yang salah? Aku
tersenyum memikirkan pertanyaan konyol retoris ini.
Sepertinya
senyum kecilku mengundang hasrat Bu Umu untuk menyuruhku maju ke depan.
Kemudian aku melangkah gontai, pasrah akan apa pun respon yang akan kudapatkan
nanti.
“Pahlawan
itu, err.. seseorang yang telah membawa manfaat tidak hanya bagi dirinya
sendiri, melainkan juga bagi orang lain. Tak peduli apakah itu berarti
merelakan segala yang ia punya. Asalkan tujuannya baik, ia mau berkorban,”
ucapku sedikit tersendat. Aku juga tak tahu angin apa yang menghembuskan
kegugupan padaku, walaupun hanya sedikit.
“Pahlawan
itu terlalu banyak untuk dijabarkan. Bahkan kita bisa saja menyebut semua orang
adalah pahlawan karena memang hampir semua orang punya peranan bagi orang lain di
sampingnya, membuatnya pantas disebut pahlawan meski dalam skala yang kecil,”
aku bertutur perlahan sambil tak lupa melirik sekilas-sekilas pada Bu Umu. Bu
Umu baik hati tapi kritis, tak suka pada anak yang menjawab asal. Aku tak
melihat gelagat yang berubah dari beliau maka aku melanjutkan kalimatku.
“Satu-satunya
pahlawan yang kuanggap riil dan benar-benar bisa aku menyebutnya
pahlawan adalah..”
“…Bapakku
sendiri”.
Aku
bisa merasakan tatapan tajam Enik seakan merontgenku, tak percaya apa
yang kukatakan barusan. Mungkin ia menyipulkan bahwa aku tak mendengarkan
presentasi-presentasi ‘pahlawan’ sebelumku. Cepat-ceppat aku melanjutkan
kembali kalimatku yang belum benar-benar selesai.
“Bapak
memang bukan pahlawan bagi banyak orang, tapi setidaknya dia adalah tipe
pahlawan bagiku. Rela berkorban, tulus, dan berjasa demi orang yang dia saying.
Dalam konteks ini, yang kumaksud adalah ibuku. Beliau rela meninggalkan
kekayaanya di kota, demi menemani ibuku untuk menghabiskan hidup bersama di
desa”. Lagi-lagi, aku memberi jeda, memancing penasaran audiens tanpa
kusengaja. Aku merasa gugup, atau canggung, atau entah apa yang menerorku aku
tak tahu.
“Tiga
tahun lalu, saat ibuku divonis menderita gagal ginjal, Bapak dengan sukarela
mendonorkan ginjalnya pada ibu, berusaha menyelamatkan ibu. Tanpa pamrih
sedikitpun. Bapak adalah orang yang baik, beliau juga selalu sabar dalam
merawatku. Terlebih saat ibuku sakit, ia benar-benar mencurahkan seluruh kasih
sayangnya padaku dan ibuku. Sepertinya cukup, terimakasih”.
Seisi
kelas memandangku penuh tanya, namun Bu Umu tersenyum dan bertepuk tangan.
Sepertinya ia menyukai keberanianku untuk menjadi berbeda, atau cara
penyampaianku yang mungkin terdengar terlalu jujur. Aku tak peduli. Aku cukup
senang saat kemudian teman-teman lain ikut bertepuk tangan menemani Bu Umu.
###
“Surti?”
Suara
Bapak mengusikku. Menarikku kembali dari alam pikiranku ke tempat dimana aku
bepijak saat ini. Aku menghampiri Bapak yang menggapai-gapai meja, dan kuraih
tangannya sebelum seluruh komponen di atas meja tersentuh olehnya. Aku belum sempat memindahkan
benda-benda itu, tapi sesegera mungkin akan kulakukan. Aku tak mau benda itu
remuk seperti benda-benda lain yang telah mencicipi genggaman tangan Bapak.
“Surti
dimana?” Bapak bertanya setelah menyadari aku bukan orang yang ia harapkan
kedatangannya. Aku tersenyum kalut memandangi Bapakku, pahlawanku.
Aku
selalu menganggap Bapak sebagai pahlawan. Pahlawan yang kurang beruntung, lebih
tepatnya.
Aku
yakin bahwa Bapak sebenarnya sudah pernah tahu bahwa transplantasi ginjal yang
didapatkan Ibu tak berujung baik. Ginjal Bapak tak berfungsi dengan benar di
tubuh ibu, dan malah memperparah keadaannya. Aku juga tahu Bapak menyaksikan
sendiri kematian ibu tiga bulan setelah pendonoran ginjal itu.
Tapi
aku juga sungguh sangat tahu, bahwa Bapak, pahlawan yang berjuang menyelamatkan
ibuku tanpa pamrih, Bapakku yang selalu baik itu, sangat mencintai ibuku lebih
dari segalanya. Aku tahu pula bila Bapak berubah semenjak ibu pergi. Mungkin
saja ibu ikut membawa separuh jiwa Bapak, hingga sekarang
aku menganggap Bapak telah menjadi gila.
###