“Aku akan pergi ke Jepang,” ucap laki-laki di depannya pelan.
“Jepang? Sekarang? Bukankah seharusnya kita pergi bersama ke sana setelah lulus SMA?”, tanyanya beruntun. Gadis itu sangat kaget mendengar pernyataan pemuda itu barusan.
“Kau yang mengajakku bermimpi untuk dapat bersekolah di Jepang, tempat teknologi tak pernah berhenti berevolusi. Tempat dimana pengetahuan tak pernah usai dikembangkan,” katanya lagi dengan nada bergetar, mencoba mengingat kalimat-kalimat yang pernah terlontar dari mulutnya.
“Ya, itu benar dan itu bagus. Aku tak akan menggagalkan mimpimu. Ayahku harus kesana dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Anggap saja kepergianku ke Jepang adalah pertanda bahwa kau juga pasti akan ke sana,” ujar pemuda itu dengan nada frustasi, bingung harus meladeninya bagaimana lagi.
“Baiklah. Tunggu aku karena satu tahun lagi aku akan menyusulmu. Tak pergi bersamamu bukan berarti aku tak jadi pergi” kata sang gadis akhirnya. Apapun yang ia katakan tak akan mencegah tetangga sekaligus sahabat yang ia kenal sejak SMP itu untuk pergi.
***
Hai. Apa kabar? Aku di sini baik-baik saja, kalau saja rindu menggebu pada kota kelahiran bukan penyakit.
Jepang sangat keren menurutku yang sudah 16,5 tahun hidup di Indonesia. Akan tetapi, aku tinggal di Kyoto dan ini membuatku tak bisa melupakan Jogja kita tercinta. Orang-orangnya yang ramah dan denyut kota yang tak secepat di Tokyo mengingatkanku akan Jogja. Aku juga bepergian kemana-mana dengan bus, sama persis seperti di Jogja. Perbedaannya adalah ketiadaan gadis gendut jelek di sampingku, hehe.
Sha, aku baru tiga bulan di sini tapi aku bisa langsung menebak tempat favoritmu kalau ke sini, yaitu... Nishiki Market! Pasti ini akan menjadi surga bagimu, karena pasar ini menyediakan semua macam makanan yang enak-enak. Oh, ya, aku selalu ingat opak buatan nenekmu yang sering kau bawa ke kelas kalau makan senbei, sejenis kue beras yang mirip dengan opak. Tapi, ada suatu tempat yang tak boleh kau lewatkan, Philosopher’s Path! Tempat yang benar-benar luar biasa!
Asha membenahi kacamataku yang melorot dan tersenyum. Rafiq bahkan tak berhenti mengolok Asha saat ia sudah berada jauh di Kyoto.
Rafiq, aku malu untuk mengakui kaiau aku juga kangen, haha.
Aku langsung tertarik pada Nishiki Market yang kubayangkan seperti Pasar Prawirotaman yang sering kita kunjungi.
Ibuku masih ngotot agar aku masuk UGM, tapi aku sangat ingin ke Jepang. Ada satu program beasiswa yang kukejar. Doakan saja, deh.
Asha membaca kata-katanya sekali lagi, kemudian mengirimkannya. Pandangannya kemudian jatuh pada rimbun pohon yang bergoyang pelan ditiup angin. Sepintas ia jadi ingat gambar pohon beringin yang menjadi logo Universitas Kyoto.
Pohon mangga besar di depan rumah yang biasanya berdaun hijau segar, kini agak kering. Ia rasa dedaunan yang menari itu mencoba menitipkan salam pada hujan lewat angin yang sedang bermain dengan mereka. Tiba-tiba ia teringat Rafiq yang sering memanjat pohon itu, dulu.
Asha juga ingin menitipkan salam lewat angin padanya, sahabat yang tak lagi dapat ia lihat setiap hari.
***
“Kenapa harus Jepang?”
“Aku tak tahu”
“Tak tahu?!”
Asha menghela nafas pasrah. Ia tak pernah mengira akan begini. Ibu adalah orang yang tak pernah berhenti mengingatkannya akan keajaiban sebuah imajinasi. Akan bahaya membatasi bermimpi, apalagi membunuh mimpi itu sendiri.
“Ibu tak ingin melarangmu mengejar mimpimu, Sha,” kata Ibu seakan membaca isi otaknya. Mata Asha terbelalak senang mendengarnya.
“hanya saja kau harus tahu, ibu tak punya apa-apa selain kamu,” Ibu berkata sambil lalu.
Asha memejamkan matanya erat-erat, mencegahnya basah.
“Tapi Asha sudah apply,” serunya lalu menggigit bibir. Asha dapat mendengar desahan Ibu di dekat pintu kamarnya.
“Kalau kau diterima, baiklah,”
Gadis berkacamata itu langsung sumringah mendengarnya.
***
Raf, Ibu mengizinkanku pergi kalau apply-ku diterima. Duh, sudah tidak sabar merasakan dinginnya salju, menyentuh lembut kelopak sakura, naik kereta bawah tanah... Pokoknya kau harus doakan aku terus, Raf.
Asha mengirimkan pesan singkat itu pada Rafiq lewat facebook. Dia tidak membalas apa-apa, malah mengirimi Asha sebuah link.
Lagu ini judulnya Kyoto. Aku suka sekali mendengarnya, tulis Rafiq kemudian.
Asha cepat-cepat mendengarkan lagu itu, kemudian mencari lirik dan terjemahannya.
“...Kisetsu ga kawaru mae ni Anata no sora wo nagareru kumo wo Fukaku nemuru mae ni Anata no koe wo wasurenai you ni...” – Kyoto, Judy & Mary
“...Aku tidak akan melupakan awan yang berarak di langitmu
Sebelum musim itu berganti
Aku tidak akan melupakan mendengar suaramu
Sebelum aku jatuh pada tidur yang nyenyak...”
Nada lagu itu yang ceria seakan menyemangatinya untuk dapat segera mengunjungi tempat lagu itu berasal.
Seharian itu Asha tak bosan mendengarkannya. Ia bertekad untuk dapat mewujudkan apa yang ia mimpikan bersama sahabatnya sejak kemarin dulu.
***
Sebulan yang lalu Rafiq lulus dari sebuah SMA di Kyoto dan pemuda itu juga sudah diterima di Teknik Kimia Universitas Kyoto.
“Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu...”
Lagu yang dinyanyikan Kla Project dari iPodnya itu benar. Jogja memang masih seperti dulu. Prawirotaman bahkan tak ada bedanya dengan dulu, kala dia dan Asha masih sering berlari pagi kesana, kemudian temannya yang suka makan itu akan membeli banyak sekali makanan.
Jadi ingat Nishiki Market, batinnya.
Langkah kaki membawanya ke tempat yang tak mampu ia lupakan, sebuah rumah putih berukuran sedang yang selalu terlihat hangat. Pohon mangga yang menjulur sampai balkon lantai dua itu masih sama, hanya fisiknya yang kini terlihat agak tua. Sama seperti raganya.
“Raf!”
Seorang ibu yang sedang menyapu daun-daun kering berseru begitu melihat Rafiq di ambang pagar, kemudian memeluknya erat. Lelaki itu tersenyum lemah.
“Masuk dulu, Raf,”
“Nanti, Bu. Saya mau ke Asha dulu,”
jawabnya lemah, ibu tua itu tersenyum lalu mengangguk.
Dengan tak sabar aku berbelok dari gang Mawar menuju ke arah Dongkelan. Di sebuah area sepi, yang bahkan terlalu sepi untuk ukuran tempat yang berisi banyak orang.
Pipi Rafiq mulai basah, gadis itu menantinya di bawah nisan batu sebelah sana. Sebuah truk menabraknya tepat saat ia menuju kantor pos, mengirimkan berkas-berkas yang dibutuhkannya untuk pergi ke Jepang. Untuk mewujudkan mimpi yang pernah dirangkai gadis itu dulu. Mimpi untuk melanjutkan studi di Jepang, bersamanya.
“...Walau kini kau t'lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati” –Suasana Jogja, Kla Project.