Senin, 30 Januari 2017

puisi Cagak Langit

puisi ini pernah dimuat di Majalah Bangkit edisi kapan ya haha lupa -_-


Cagak Langit
Untuk Mbah KH Zainal Abidin Munawwir

Benar kata Mbah Ali,
Bahwa dirimu adalah Cagak Langit, Penyangga Langit
Kala kau pergi, langit menangis lewat pucuk-pucuk gerimis

Kami banyak lupa pesanmu, untuk bersyukur
Para petinggi asyik mereguk uang negeri
Tak sepertimu yang enggan menyentuh gaji

Syukur yang kau contohkan dengan menghargai rizki
Menabung uang barang segobang untuk berhaji
Namun pada uang receh itu kini kami tak lagi sudi
bahkan untuk sekedar peduli

Kami lebih bangga mencari harta, berfoya-foya
Makan berpiring-piring tiada kenyang
sedang kau makan sepiring saja jarang

Mbah,
Belum lama engkau pergi menghadap-Nya
Kiranya langit sudah mulai goyah
Bumi dan seisinya menampakkan tanda dan amarah

Memperingatkan kami akan kemunculan As-Sa’ah

cerpen Di Balik Jendela

170215. Kdj202.
DI BALIK JENDELA

“Astaghfirullah,”
Cepat-cepat kualihkan pandanganku sambil mengurut dada. Maksiat, pikirku. Jantungku masih berderap cepat dan mataku terpejam rapat. Namun tetap saja. Meski dalam mata tertutup seperti itu, bayangan sosok bersorban tadi masih jelas terpampang di otakku. Kuhela napas panjang, kubuka lagi kelopak mataku. Segera kufokuskan kembali pikiranku pada lemabaran mushaf yang ada di depanku
***
Aku sedang membaca buku geografiku dengan segan ketika tiba-tiba Ulfah duduk di sebelahku dan sebungkus cokelat kesukaanku secara ajaib telah berbaring di pangkuanku. Aku menatap Ulfah tak berkedip. “Itu syukuran aku menang speech kemarin,” katanya sambil tersenyum. Aku ikut sumringah. “Makasih, Ul,” seruku. Aku melanjutkan membaca buku geografi ditemani Ulfah yang berceloteh tentang seorang artis, lalu seorang Gus Kafa (putera kyaiku yang nyantri di Jombang) yang dijodohkan dengan ning siapa, dan entah apa lagi aku tak paham.
‘Kriiing...’
Bel berbunyi. Istirahat telah usai. Pelajaran geografi akan segera dimulai. Tubuhku langsung lunglai. Hari ini ulangan dan aku belajarku tadi hanya sebentar. Itupun diiringi dengan nyanyian Ulfah. Ah...
***
Aku ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Aku mencatat setiap ayat Quran dan hadist yang diselipkan bapak atau ibu guru dalam pelajarannya (karena dilakukan di pesantren, kegiatan ini berubah menjadi mencatat setiap perkataan guru) dan, yang lebih susah lagi, mencoba menjalankan isi ayat dan hadist tersebut. Aku ingin mejadi anak alim. Tetapi sejak bertemu dengannya, imanku mulai goyah.
Aku masih ingat pertemuan dengannya pertama kali; saat mangantri di kasir supermarket depan pondok. Aku berdiri di belakangnya, dekat, dekat sekali. Aku iseng membaca bubuhan spidol di ujung belakang surbannya; F A B I. Unik, ya? Aku tak melihat wajahnya sampai dia keluar dari supermarket. Kami hanya sempat bersitatap sebentar karena lelaki itu cepat-cepat membuang muka. Dan sungguh, itu pertama kali aku merasa terpana.
***
Huf , susah benar berada di antara orang yang sedang ghibah. Mau ikutan, dosa. Mau menghindar pergi, eh, malah hasrat hati ingin mendengarkann. Kelasku sedang jam kosong dan kelasku sudah sebelas dua belas bisingnya dengan pasar. Iseng aku mendekat ke jendela. Dan aku melihatnya.
Berpeci putih, koko putih, surban putih, sarung kotak-kotak cokelat. Aku bingung harus berucap subhanallah atau astaghfirullah (atau, ehm, alhamdulillah?) begitu melihatnya. Mukanya bersih memancarkan aura yang menyenangkan dan berwibawa. Langkahnya tegap namun tetap agak menunduk. Mukanya datar tapi sorot mata teduhnya nampak sangat jelas. Aku menarik kepalaku dari jendela. Aku ingin menjaga pandangan seperti sosok lelaki itu. Aku memaksa kakiku untuk melangkah menjauh dan duduk di bangkuku. Lebih baik belajar untuk ulangan ekonomi besok.
Ah, aku frustasi berat. Aku curiga ada yang menempelkan foto Fabi (aku capek memanggilnya ‘Lelaki Bersorban’) di segala tempat. Aku baru berapa kali jumpa dirinya tapi wajahnya seakan ada dimana-mana. Atau jangan-jangan, reseptor otakku menerjemahkan segala impuls yang masuk menjadi dirinya? Aduh, melankolis benar aku ini. Hm, aku yakin dia bukan santri putra sini. Tidak, dia baru saja berjalan di gedung madrasah putri pada jam sekolah. Apa dia guru baru? Atau karyawan baru? Atau malah tukang kebun baru? Ah, makin lama makin kacau aku.
“Lihat, ada Gus Kafa!”, seru Fida keras. Sontak saja, semua anak kelasku medekat ke jendela kecuali aku. Aku bingung. “Lin, sini nggak papa. Gus Kafa sudah dijodohin sama ning, kok,” kata Sofa padaku. “Mumpung lagi di Jogja, lo, Lin. Baru pulang dari Jombang, paling-paling habis ini boyong lagi ke Jombang,” tambah Virda. Aku mulai goyah. Aku mengintip Gus Kafa yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Dan sosok di balik jendela itu masih sama.
***


NARKOBA

Narkoba,
Kenapa tak diperbolehkan?
Karena mempercepat denyut jantung?
Karena efeknya yang dapat menghilangkan kesadaran?
Memicu halusinasi?
Karena dapat mematikan perlahan?
Atau apa?
Jika yang tadi kusebutkan itu benar,
Maka apakah hal yang sama juga dilarang?
Seperti, ehm, mencintaimu?

Lina Juhaidah
XI IPA 3
MA Ali Maksum pondok pesantren krapyak Yogyakarta
085602041475

Cerpen Rahasia Usy

RAHASIA USY
“Yang benar kau tidak ikut studi wisata?” tanyaku sekali lagi. Ia hanya mengangguk lemah. Aku sudah lelah mengatakan padanya betapa anak kelas mengharapkan ia ikut, namun sampai sekarang ia masih saja keras kepala. “Lihat, ini hasil urunan anak sekelas buat kamu. Segini ini sudah cukup untuk bayar dan uang jajanmu studi wisata. Sekarang, kamu masih mau menolak untuk ikut?

 Ia menatapku sambil menggigit bibir bawahnya. Aku hampir ingin tertawa demi melihat ekspresi wajahnya yang mendadak aneh itu. Ia memalingkan mukanya kemudian terlihat berpikir keras.

“Aku tetap tidak bisa. Maafkan aku.”

Kami berteman baik sejak kecil. Tak kusangka ia bisa berkata begitu kemudian berlalu meninggalkanku dengan kepala tertunduk dalam.
***
“Ah, kurasa dia memang terlalu banyak berubah semester ini. Jadi lebih pendiam, gak mau ikut lomba debat, diajak main juga ga pernah berangkat. Tapi memang tidak ikut studi wisata itu termasuk kategori keterlaluan,” komentar Tohari saat aku menceritakan usahaku membujuk Usy kemarin.

Mataku menangkap Usy yang sedang bercanda dengan siswi-siswi lainnya. Tak nampak berbeda, tetap Usy yang blak-blakan, ketawa keras, dan ekspresif. Nilai raportnya memang standar, tapi kepercayaan dirinya tak punya tandingan. Karena aku dan semua anak di kelas XI MiA 3 telas sekelas dengannya selama satu tahun, tentu kami telah saling mengenal sifat satu sama lain. Apalagi Nur Firdausy. Usy sering tidur di kelas dan mengupil saat ada guru. Pakaiannya tidak pernah disetrika kecuali mau lomba. Usy sangat aneh. Ah, bukan aneh, tapi, apa ya. Ah, ya. Semacam eksentrik. Nah, begitulah Usy. Tentu saja kami langsung kaget begitu Usy menyatakan ia tak ikut studi wisata. Siapa yang akan jadi biang onar nanti?

“Pak Ketua, jangan suka melamun nanti kerasukan!” Usy berteriak kencang mengagetkanku (dan anak-anak lain jelas). Kemudian ia tertawa, tanpa beban. Melihat sosoknya yang berbanding terbalik dengan yang aku temui kemarin, aku sedikit merasa risih. Akan kuhampiri lagi ia siang nanti. Sebelum kami bimbingan olimpiade. Usy, temanku itu harus ikut. Semua anak kelasku harus ikut. Harus!
***
“Us,”

“Eh, Pak Ket. Ada apa?” ujarnya ceria sambil menata buku biologi dari tas ke pangkuannya. “Jujur, deh. Kamu ada apa, sih? Kamu tak mau ikut studi wisata dan jarang mau ikut lomba. Kenapa?” kutanyai begitu ia menunduk. Ada rona yang secara tiba-tiba meredup dari wajahnya.

“ibuku sakit, Wildan. Ayahku kerja di Malaysia. Aku tak puny adik maupun kakak, atau pembantu. Kami hanya hidup berdua di rumah. Aku tak akan meninggalkannya hanya untuk studi wisata.” Usy menundukkan kepalanya. “Jadi tolong jangan paksa aku terus-menerus,” lanjutnya.

“Kenapa kau tak pernah cerita padaku, Us? Kalau tahu begini aku tak akan memaksamu.” Kataku dengan perasaan jengkel dan sedikit menyesal. Usy mendongakkan kepalanya ke arahku. Kedua bola matanya menatapku dengan sendu.

“Kupikir yang terbaik begitu...” Usy berkata pelan. Ia kembali melanjutkan,
“karena kau pun tak pernah bercerita padaku saat ibumu meninggal tahun lalu.”
***
LINA JUHAIDAH
KELAS XI IPA 3
MA ALI MAKSUM, KRAPYAK
Jalan K.H. Ali Maksum PO. Box 1192
Krapyak, Yogyakarta
Indonesia 55011
(Dimuat di Rubrik Kaca Harian Kedaulatan Rakyat di hari Jumat, 27 November 2014)

MIMPI


“Aku akan pergi ke Jepang,” ucap laki-laki di depannya pelan.

“Jepang? Sekarang? Bukankah seharusnya kita pergi bersama ke sana setelah lulus SMA?”, tanyanya beruntun. Gadis itu sangat kaget mendengar pernyataan pemuda itu barusan.

“Kau yang mengajakku bermimpi untuk dapat bersekolah di Jepang, tempat teknologi tak pernah berhenti berevolusi. Tempat dimana pengetahuan tak pernah usai dikembangkan,” katanya lagi dengan nada bergetar, mencoba mengingat kalimat-kalimat yang pernah terlontar dari mulutnya.

“Ya, itu benar dan itu bagus. Aku tak akan menggagalkan mimpimu. Ayahku harus kesana dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Anggap saja kepergianku ke Jepang adalah pertanda bahwa kau juga pasti akan ke sana,” ujar pemuda itu dengan nada frustasi, bingung harus meladeninya bagaimana lagi.

“Baiklah. Tunggu aku karena satu tahun lagi aku akan menyusulmu. Tak pergi bersamamu bukan berarti aku tak jadi pergi” kata sang gadis akhirnya. Apapun yang  ia katakan tak akan mencegah tetangga sekaligus sahabat yang  ia kenal sejak SMP itu untuk pergi.

***
Hai. Apa kabar? Aku di sini baik-baik saja, kalau saja rindu menggebu pada kota kelahiran bukan penyakit.
Jepang sangat keren menurutku yang sudah 16,5 tahun hidup di Indonesia. Akan tetapi, aku tinggal di Kyoto dan ini membuatku tak bisa melupakan Jogja kita tercinta. Orang-orangnya yang ramah dan denyut kota yang tak secepat di Tokyo mengingatkanku akan Jogja. Aku juga bepergian kemana-mana dengan bus, sama persis seperti di Jogja. Perbedaannya adalah ketiadaan gadis gendut jelek di sampingku, hehe.

Sha, aku baru tiga bulan di sini tapi aku bisa langsung menebak tempat favoritmu kalau ke sini, yaitu... Nishiki Market! Pasti ini akan menjadi surga bagimu, karena pasar ini menyediakan semua macam makanan yang enak-enak. Oh, ya, aku selalu ingat opak buatan nenekmu yang sering kau bawa ke kelas kalau makan senbei, sejenis kue beras yang mirip dengan opak. Tapi, ada suatu tempat yang tak boleh kau lewatkan, Philosopher’s Path! Tempat yang benar-benar luar biasa!

Asha membenahi kacamataku yang melorot dan tersenyum. Rafiq bahkan tak berhenti mengolok Asha saat ia sudah berada jauh di Kyoto.

Rafiq, aku malu untuk mengakui kaiau aku juga kangen, haha.
Aku langsung tertarik pada Nishiki Market yang kubayangkan seperti Pasar Prawirotaman yang sering kita kunjungi.
Ibuku masih ngotot agar aku masuk UGM, tapi aku sangat ingin ke Jepang. Ada satu program beasiswa yang kukejar. Doakan saja, deh.

Asha membaca kata-katanya sekali lagi, kemudian mengirimkannya. Pandangannya kemudian jatuh pada rimbun pohon yang bergoyang pelan ditiup angin. Sepintas ia jadi ingat gambar pohon beringin yang menjadi logo Universitas Kyoto.

Pohon mangga besar di depan rumah yang biasanya berdaun hijau segar, kini agak kering. Ia rasa dedaunan yang menari itu mencoba menitipkan salam pada hujan lewat angin yang sedang bermain dengan mereka. Tiba-tiba ia teringat Rafiq yang sering memanjat pohon itu, dulu.

Asha juga ingin menitipkan salam lewat angin padanya, sahabat yang tak lagi dapat ia lihat setiap hari.

***
“Kenapa harus Jepang?”

“Aku tak tahu”

“Tak tahu?!”

Asha menghela nafas pasrah. Ia tak pernah mengira akan begini. Ibu adalah orang yang tak pernah berhenti mengingatkannya akan keajaiban sebuah imajinasi. Akan bahaya membatasi bermimpi, apalagi membunuh mimpi itu sendiri.

“Ibu tak ingin melarangmu mengejar mimpimu, Sha,” kata Ibu seakan membaca isi otaknya. Mata Asha terbelalak senang mendengarnya.
“hanya saja kau harus tahu, ibu tak punya apa-apa selain kamu,” Ibu berkata sambil lalu.

Asha memejamkan matanya erat-erat, mencegahnya basah.

“Tapi Asha sudah apply,” serunya lalu menggigit bibir. Asha dapat mendengar desahan Ibu di dekat pintu kamarnya.
“Kalau kau diterima, baiklah,”

Gadis berkacamata itu langsung sumringah mendengarnya.

***
Raf, Ibu mengizinkanku pergi kalau apply-ku diterima. Duh, sudah tidak sabar merasakan dinginnya salju, menyentuh lembut kelopak sakura, naik kereta bawah tanah... Pokoknya kau harus doakan aku terus, Raf.

Asha mengirimkan pesan singkat itu pada Rafiq lewat facebook. Dia tidak membalas apa-apa, malah mengirimi Asha sebuah link.

Lagu ini judulnya Kyoto. Aku suka sekali mendengarnya, tulis Rafiq kemudian.

Asha cepat-cepat mendengarkan lagu itu, kemudian mencari lirik dan terjemahannya.

“...Kisetsu ga kawaru mae ni Anata no sora wo nagareru kumo wo Fukaku nemuru mae ni Anata no koe wo wasurenai you ni...” – Kyoto, Judy & Mary

“...Aku tidak akan melupakan awan yang berarak di langitmu
Sebelum musim itu berganti
Aku tidak akan melupakan mendengar suaramu
Sebelum aku jatuh pada tidur yang nyenyak...”

Nada lagu itu yang ceria seakan menyemangatinya untuk dapat segera mengunjungi tempat lagu itu berasal.

Seharian itu Asha tak bosan mendengarkannya. Ia bertekad untuk dapat mewujudkan apa yang ia mimpikan bersama sahabatnya sejak kemarin dulu.

***
Sebulan yang lalu Rafiq lulus dari sebuah SMA di Kyoto dan pemuda itu juga sudah diterima di Teknik Kimia Universitas Kyoto.

“Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu...”

Lagu yang dinyanyikan Kla Project dari iPodnya itu benar. Jogja memang masih seperti dulu. Prawirotaman bahkan tak ada bedanya dengan dulu, kala dia dan Asha masih sering berlari pagi kesana, kemudian temannya yang suka makan itu akan membeli banyak sekali makanan.

Jadi ingat Nishiki Market, batinnya.
Langkah kaki membawanya ke tempat yang tak mampu  ia lupakan, sebuah rumah putih berukuran sedang yang selalu terlihat hangat. Pohon mangga yang menjulur sampai balkon lantai dua itu masih sama, hanya fisiknya yang kini terlihat agak tua. Sama seperti raganya.

“Raf!”
Seorang ibu yang sedang menyapu daun-daun kering berseru begitu melihat Rafiq di ambang pagar, kemudian memeluknya erat. Lelaki itu tersenyum lemah.

“Masuk dulu, Raf,”

“Nanti, Bu. Saya mau ke Asha dulu,”
jawabnya lemah, ibu tua itu tersenyum lalu mengangguk.

Dengan tak sabar aku berbelok dari gang Mawar menuju ke arah Dongkelan. Di sebuah area sepi, yang bahkan terlalu sepi untuk ukuran tempat yang berisi banyak orang.

Pipi Rafiq mulai basah, gadis itu menantinya di bawah nisan batu sebelah sana. Sebuah truk menabraknya tepat saat ia menuju kantor pos, mengirimkan berkas-berkas yang dibutuhkannya untuk pergi ke Jepang. Untuk mewujudkan mimpi yang pernah dirangkai gadis itu dulu. Mimpi untuk melanjutkan studi di Jepang, bersamanya.

“...Walau kini kau t'lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati” –Suasana Jogja, Kla Project.

KOIN

KOIN

Sial, gumamku dalam hati. Pagi-pagi buta begini, sepulang membeli wortel di Pasar Pagi, dia sudah ngangkring dengan kaki di atas kursi serta rokok di sela jari. Aku meliriknya sekilas. Dia balas menatapku, ganas.
***
Reza –seperti biasa- sudah duduk manis di kelas saat sesaentaro sekolah hanya berisi satu nyawa -Pak Gito, sang penjaga sekolah. Aku sengaja berangkat pagi karena hari ini jadwalku piket, namun sepertinya aku berangkat terlalu pagi. Reza yang masih sendiri di kelas adalah buktinya. Aku mengambil sapu dengan malas.
***
“Lin, kamu sudah paham?”, Reza bertanya dengan sungguh-sungguh padaku. Aku terpaksa  mengangguk pelan. Bagaimana lagi, Reza sudah menerangkan teori fisika kuantum selama hampir satu jam dan bulir peluh besar-besar tampak jelas di pelipisnya. Mana mungkin aku harus jujur kalau sebenarnya aku masih tidak paham? Ah, aku harus begadang lagi nanti malam, supaya besok saat ditanya aku bisa walau sekedar menjawab apa adanya.

Kuperhatikan Reza yang sedang menyeka peluhnya kemudian tersenyum ramah padaku. Reza, manusia sempurna, baik wataknya, master fisika, murid yang selalu dipuja-puja, idola para wanita. Aku hampir saja dilabrak kelompok-pemuja-Reza gara-gara dianggap dekat dengannya. Aku acuh saja. Toh, bukan mauku bisa terkurung dengannya berjam-jam hanya untuk mendengarkan ceramah fisika yang membuat sel-sel saraf di otakku malas bekerja.

“Taro mana? Tidak berangkat lagi?,” tanyanya dengan tatapan tajam. Aku mengangkat bahuku. “Sepertinya”. Selanjutnya, bisa kutebak, Reza akan mendengus sebal dan memalingkan muka. Aku tahu, sekalipun ia tak pernah mengatakannya pada aku maupun siapapun, Reza tak suka pada Taro. Kukira semua orang pasti tahu itu –atau semua orang pasti membenci Taro, entahlah.

Mungkin sebaiknya Reza tak tahu, aku baru saja membaca status Taro terbaru, “hang out”. Maka bisa kupastikan bahwa sekarang ia berada di sebuah mall atau planet lain -aku tak tahu, dengan rokok di sela jari –yang ini sudah pasti.

“Tiga hari ke depan aku ada kegiatan. Maka, kamu belajar sendiri, ya,” Reza berkata dengan nada serius. Aku mengangguk dengan pandangan masih tetap mengarah pada buku fisika tebal di pangkuanku. Siapa peduli dengan kegiatan Reza yang membuatnya jarang menampakkan batang hidungnya di sekolah?

“Jangan tiru Taro, kalau kamu benar-benar mau berhasil di lombamu besok,” tambahnya berapi-api. Anggukanku baru setengah jalan sampai Reza meneriakiku, ”Jangan cuma mengangguk, dengarkan!”
“Iya, Za,” jawabku malas sambil memalingkan muka.

Sepertinya, hanya aku yang benci setengah mati pada fisikawan yang satu ini. Andai saja kelas sepuluh kemarin ia tidak dapat medali emas OSN Fisika, pasti tahun ini aku dan Taro tak perlu susah-susah mengikuti pembimbingan fisika super eksklusif dengannya setiap hari. Reza menerima pendaulatan dirinya menjadi trainer fisika dengan suka cita, sedangkan aku dan Taro jelas menerimanya sebagai bencana.
***
“Kemarin Reza ngomongin apa aja?” tanyanya dengan muka acuh. Aku tertawa pelan. “Hahaha, entahlah. Aku hanya memperhatikan biji-biji keringat yang tumbuh di dahinya”. “Sekarang latihan soal aja, yuk. Nanti kita bahas bareng,” ajaknya. Aku tersenyum mengiyakan. Mendadak semangatku belajar fisika membludak sampai luber-luber. Kubuka map hijauku yang berisi lembar-lembar soal.

Kalau sebelumnya aku menduga bahwa cuma diriku yang tidak menyukai Reza, maka sekarang aku menyatakan bahwa sepertinya hanya aku yang mengetahui sisi baik Taro –selain bahwa dia pintar fisika. Hanya Taro yang bisa menjelaskan rumus fisika terumit dengan penjelasan yang bahkan bisa membuat anak TK paham bila Taro yang menjelaskan. Reza yang jenius tak akan bisa melakukannya. Tak banyak yang tahu memang. Lagipula, memang tidak ada yang mau tahu tentang hal itu. Orang lain merasa cukup mengerti Taro sebagai anak nakal, tukang bolos, kelayapan, dan tak pernah jauh dari tembakau olahan yang disebut rokok.
Awalnya, Pak Rofiqi dengan yakin memilihku untuk maju olimpiade fisika tahun ini. Namun, karena peraturan ternyata membolehkan sekolah untuk mengirim lebih dari satu orang untuk satu mata pelajaran, maka nama Taro pun keluar, dengan tanpa kerelaan hati para guru. Tidak juga ada seorangpun yang bisa berpikir menggunakan logika mengapa Taro yang demikian itu bisa cemerlang dalam fisika.

“Ro, kenapa tahun kemarin bukan kau yang ikut lomba ini?” tanyaku tanpa sadar. Aku juga tak paham kenapa kalimat itu menerjang mulutku begitu saja. Taro malah terpingkal-pingkal mendengarnya membuatku semakin tak paham.

“Aduh, Lin. Kamu bertanya apa mengejekku?” Taro balik bertanya dengan senyum memperlihatkan gusinya yang merah muda. Aku segera menunduk. Aku tidak kuat melihat senyumnya, nanti bisa-bisa imanku runtuh seketika.

“Mau dikata nilaiku selalu sama persis dengannya pun, anak nakal macam aku mana pantas terpilih?” tanyanya dengan mata berbinar –aneh, ya?

“Sampai detik ini pun, aku tak pernah percaya berada di sini, disuruh berlatih untuk olimpiade fisika. Apa-apaan, coba?” Taro melanjutkan ucapannya dengan tertawa renyah. Mau tak mau aku pun terbawa untuk ikut tertawa bersamanya.

Taro terlihat baik, mengapa ia harus nakal?, aku membatin dalam hati.
“Dulu aku anak baik-baik,” Taro berujar pelan, seakan mendengar apa yang terlintas di benakku. “serius, lho, Lin” tambahnya mencoba meyakinkanku. “Reza sudah rajin sejak kecil. Tapi seringkali peringkatku lebih tinggi darinya. Dia marah dan menjauhiku, hahaha”.

Aku terkesiap mendengarnya. Apa ini? Cerita kelam Reza?

“Aku jadi sebal sendiri, maka kuputuskan untuk membuatnya senang. Awalnya aku cuma jadi pemalas, lama kelamaan jadi bad boy gini, haha,” cerocosnya. Aku melongo, tidak percaya. Entahlah, tapi rasanya aneh saja membayangkan Taro dan Reza berteman.

Aku memandangi Taro yang sedang memperhatikan lembar-lembar soal fisika sambil tersenyum. Sebenarnya, dulu aku sebal padanya. Namun entah sejak kapan aku mulai menaruh hati padanya, dan aku membenci perasaanku itu.

“Everybody has a dark side, Lin. Tukang bolos begini sebenarnya aku anak baik. Orang terlihat ramah macam Reza pun punya kekurangan, tapi jangan dipermasalahkan. Setiap yang punya sisi kanan pasti punya sisi kiri, kutub utara bisa disebut utara karena ada selatan, ada lambang garuda di balik sisi angka, dan sebagainya.”

Aku tertegun. Kini aku sedang melihat sisi koin yang lain, yang berbeda dari yang selama ini aku lihat.
***
Lina Juhaidah
MA Ali Maksum Krapyak