Menjadi seorang mahasiswa di zaman sekarang bukanlah sebuah prestis
sebagaimana yang dialami oleh bapak ibu kita dulu pada zamannya. Jumlah
mahasiswa atau penduduk yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi yang kian
bertambah setiap tahun memang merupakan bukti bahwa kesadaran bangsa akan
pentingnya pendidikan semakin meningkat. Sayangnya, kesadaran tersebut lebih
didasari oleh formalitas semata. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya jumlah
lulusan perguruan tinggi yang menganggur atau tidak bekerja. Pemikiran ‘dimana
saya bekerja setelah lulus?’ lebih mendominasi daripada ‘apa yang harus saya
lakukan setelah mendapatkan ilmu?’.
Kita memahami bahwa pemuda adalah aset terpenting dalam suatu
negara. Pemuda adalah tonggak pergerakan. Maju dan mundurnya suatu bangsa
ditentukan oleh generasi mudanya. Berbagai perubahan dapat terjadi dikarenakan
dobrakan pemuda. Untuk mencapai perubahan yang lebih baik diperlukan pemuda
pemuda yang memiliki kualitas intelektual dan bermoral.
Ketika membahas mengenai pemuda, kita tak bisa lepas dari kata
mahasiswa. Mahasiswa tidak hanya tergambar dalam benak sebagai pemuda yang
menempuh pendidikan di perguruan tinggi, namun memiliki daya juang dan semangat
perubahan. Semangat inilah yang dimiliki oleh sebagian besar mahasiswa,
menghidupi suatu organisasi debagai sarana mewujudkan fungsi mahasiswa sebagai agent
of changes, social control, dan iron stock.
Sedangkan, sebagian besar pola pembelajaran mahasiswa hanya terpaku
saat kelas sedang berlangsung. Padahal, membaca, mengerti, dan menghafal saja
tidaklah cukup. Ilmu pengetahuan harus dikelola secara produktif untuk
mengahsilkan inovasi-inovasi dalam berbagai bidang yang dapat membantu
memajukan bangsa, Negara, dan peradaban dunia pada umumnya. Kemudian, yang
perlu ditekankan adalah hasil keluaran yang konkret akan adanya ilmu pengetahuan
pada diri manusia adalah karakter yang unggul.
Selama ini sebagian besar dari kita masyarakat Indonesia
berlomba-lomba untuk mendapatkan produk-produk keluaran terbaru, tanpa pernah
berpikir untuk menciptakan keterbaruan itu. Banyaknya kasus para pemimpin
bangsa yang terperangkap korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah bukti bahwa
titel pendidikan yang tinggi bukanlah jaminan karakter yang unggul.
Karakter-karakter unggul melingkupi kejujuran, kedisiplinan,
akuntabel. Tinggi dalam intelektualitas yang tidak dibersamai dengan keunggulan
karakter adalah ancaman yang berat yang dapat menjerumuskan bangsa Indonesia
menuju kehancuran, karena mereka menggunakan ilmu dan pengetahuan yang ia
miliki bukan untuk mencerdaskan orang-orang di sekitarnya, namun sebaliknya.
Dalam kurikulum wajib pendidikan sejak Taman Kanak-Kanak sampai
Perguruan Tinggi, tidak banyak diberikan materi mengenai karakter. Pendidikan
karakter hanya bisa kita dapat melalui mata pelajaran pendidikan agama dan
pendidikan kewarganegaraan. Pun materi saya rasa hanya berhenti di hafalan saja
tanpa ada implementasi yang riil.
Maka dari itu, pengetahuan tidak seharusnya dipelajari secara
teoritis semata, melainkan implementatif dan produktif. Apabila pengetahuan
terus menerus diterapkan dan dikembangkan melalui inovasi-inovasi dalam diri
pelajar, maka peningkatan karakter-karakter unggul bukanlah sebuah keniscayaan.
Namun, diperlukan dukungan dari berbagai pihak untuk dapat terus mengawasi dan
mengarahkan agar setiap inovasi yang dikembangkan memiliki arah dan tujuan yang
jelas, serta dilakukan dengan cara yang baik.
Dengan adanya dukungan dari pihak pemerintah bekerja sama dengan
semua instansi pendidikan untuk menyelesaikan problematika ini. Salah satu cara
adalah dengan mengurangi beban pendidikan dalam kelas. Lebih memperbanyak waktu
untuk belajar di luar kelas, bereksperiman dan menerapkan apa yang telah
dipelajari dalam kelas akan mengambangkan rasa ingin tahu, serta nilai-nilai
social seperti kejujuran, kepekaan, dan berbagai karakter-karakter unggul
lainnya. Kita harus menyadari bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya berputar di
otak, melainkan tertanam pada jiwa setiap individu, sehingga pengetahuan tidak
akan menjadi boomerang yang dapat mencelakai pemiliknya serta orang-orang di
sekitarnya. Kita tidak cukup hanya menjadi cerdas tanpa moralitas. Kita harus menjadi
orang yang cerdas dan berkualitas dengan integritas.
REFERENSI:
Sofyan, Herminarto. Implementasi Pendidikan Karakter melalui
Kegiatan Kemahasiswaan
Baswedan, Anis R. 2014. Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia