Kamis, 25 Desember 2014

cerpen Mata Indah



Mata Indah

Deg! Degup jantungku bertempo lebih cepat dari biasanya. Segera kutundukkan kepalaku sebelum jantungku bhermaraton keluar dari rongga dadaku. Saat aku mendongak sedikit, aku tak kuat menatapnya, menatap mata indahnya.
***
Aku baru kelas delapan dan adikku baru saja meninggal karena leukimia setahun lalu. Aku adalah pribadi yang tertutup, dan kepergian Ren, kembaranku, membuatku semakin enggan bergaul.Belajar dan buku adalah pelampiasanku. Sampai akhirnya guruku menunjukku mewakili sekolah untuk maju lomba fisika tingkat kota. Saat itulah, aku menemukan ia mengerjakan soal tertulis tepat di sebelahku. Aku hampir tak menyadari kehadirannya sampai waktu habis dan bola mata indah itu tak sengaja menangkap mataku yang terbelalak melihatnya.

Bukan main. Cahaya matanya adalah gelombang elketromagnetik yang berkecepatan lebih dari 3x108 meter per detik. Anehnya, aku seperti pernah melihatnya.
***
Sekarang aku kelas sepuluh dan dia masih berada satu kota denganku. Tiada henti aku bersyukur aku dan dia tidak bersekolah di sekolah yang sama sehingga kami bisa mewakili sekolah masing-masing dan berjumpa pada ajang yang sama: fisika.

Aku semakin mengenalnya, begitu pula ia. Aku bercerita padanya tentang segala hal. Tentang hobiku, keluargaku, semuanya. Ia memandangku penuh arti saat aku bercerita tentang Ren yang meninggal tiga tahun lalu. Ia begitu baik. Kini, bayangan wajahnya menggantikan rumus-rumus fisika yang kuwiridkan menjelang tidur. Namun frekuensi belajarku juga semakin rajin agar aku bisa bersanding dengannya di podium juara, sekalipun piala miliknya selalu lebih bersar dari milikku.

Pada pertemuan terakhir, aku berujar bahwa aku ingin mengikuti olimpiade fisika internasional, bersamanya. Ia tertawa pelan mendengarnya. Suara tawa yang indah, dan aku seperti pernah mendengarnya. Tapi biarlah. Aku tak peduli. Aku menatap mata indahnya lagi.

Oh, lihatlah. Ia semakin menawan dengan topi hoodie hitam di kepalanya, menutupi rambut keritingnya yang semakin hari semakin jarang saja. Aku tak heran, rumus memang bisa membuat tua sebelum waktunya. Namun, rumus jugalah, yang kemudian melaksa cinta kami berdua.

***
Sebulir embun terjun pelan dari sudut mataku. Tuhan, aku masih tak memercayai ini. Ini mimpi! Dengar; aku dan dia akan menjadi salah dua dari kontingen Indonesia di olimpiade fisika internasional bulan depan. Namun, ah, entahlah. Mataku semakin kabur, napasku memburu, degup jantungku beradu. Aku hanya mampu tersedu.
Si mata indah itu, kini aku tahu di mana kami berjumpa di masa lalu. Ia adalah orang yang selalu kutemui saat aku menjemput Ren di rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Sekarang ia mungkin telah bertemu Ren. Aku hanya bisa berlutut dan terisak di depan sebuah nisan batu. Si mata indah itu meninggalkanku. Ia sudah terkubur di depanku, memendam harapan-harapan indah kami, dulu.

Lina Juhaidah
Kelas XI IPA 3 MA Ali Maksum, Yogyakarta

cerpen Takziran Bu Durroh



TAKZIRAN BU DURROH

“Ruroh...”

“ngelapi piring tiga puluh,” ujar Ibuk sembari melirikku dari balik kacamatanya.

Aku bergegas bangkit dan beranjak untuk mengambil piring. Sudah jelas itu tadi perintah untuk membersihkan piring. Bukan dari makanan, sayangnya. Melainkan dari debu-debu  yang sebenarnya tak seberapa banyak. Aku tahu perintah tadi bukanlah tanpa alasan, tetapi hukuman. Ya, kuakui kalau kemarin aku bolos –untuk yang ketiga kalinya- dan Ibuk tidak pernah marah. Aku hanya disuruh bersih-bersih. Untuk pembolosan pertama, aku didhawuhi membersihkan jendela. Namun untuk yang kedua dan ketiga, aku dapat jatah mengelap piring. Benar-benar menyebalkan. Aku merasa seperti babu, padahal disini statusku, kan, santri!

Sebenarnya aku bukan tukang bolos. Hanya saja, akhir-akhir ini memang aku merasa kecapekan. Minggu depan aku ikut turnamen Pagar Nusa untuk pertama kalinya di aliyah –aku sudah sangat sering ikut waktu tsanawiyah dulu-. Tentu, aku berlatih hampir setiap hari sepulang sekolah. Aku tak mau sembarangan, karena memang hanya di bidang inilah aku merasa memiliki jati diri, dan bisa memperoleh piagam. Aku tahu bahwa Ibuk pasti akan ‘duko’ kalau sampai tahu aku ikut turnamen. itulah kenapa aku bolos dua hari kemarin. Aku lebih memilih mengelap piring daripada Ibuk tahu badanku yang waktu itu lebam parah. Aku tak mau diinterogasi Ibuk dan akhirnya dikeluarkan dari madrasah huffadz lil banat ini.
***

Bu Durroh –yang biasa dipanggil ‘Ibuk’ oleh santri-santrinya- menatapaku sekilas dan mata kami sempat bertemu. Aku merasa melihat senyumnya samar-samar kemudian. Duh! Aku jadi makin deg-degan saja. Kemarin aku bolos -lagi! Dan itu berarti untuk yang keempat kali. Otakku terasa berputar-putar menebak apa ‘piket’ku kali ini. Hatiku terus berdoa dengan mulut komat-kamit agar entah bagaimana, tiba-tiba saja Ibuk lupa kalau kemarin aku tak menampakkan batang hidungku yang lebar ini.

“Ruroh,”

Ibuku memanggilku sambil mengedikkan kepalanya. Deg! Namaku dipanggil! Oh, tidak. Matilah aku setelah ini. Namun ketika aku maju Ibuk diam saja. Aku sedikit merasa bingung.

“Ayo lhek diwaca tahfidzmu dina iki,”

Waa, doaku terkabul! Lega benar aku. Aku pun menyetorkan hafalanku dengan tenang. Tapi juga sedikit was-was barangkali hukumanku diberikan setelah ini. Namun, rupanya aku terlalu su’udzon. Selesai aku tahfidz, Ibuk tampak tidak hirau. Kemudian beliau berdiri dan memandang sekeliling ruangan itu.

“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,” Ibuk mengucap salam dan seketika musholla bercat krem itu menjadi hening. “aku mau cerita tentang ayahku, Mbah Anwar. Le setor uwis sik.

“Mbah Anwar itu orang ‘alim, ‘abid, dan dekat sama Allah. Mbah Anwar itu tidak biasa untuk menganggur. Beliau selalu menyibukkan diri untuk berdzikir.” Ibuk memberi jeda sebentar, kemudian melanjutkan.

“Dzikir ki ora kok mesti ndekem terus wiridan. Dzikire mbah Anwar itu terus lewat bibir beliau yang tidak pernah berhenti menyebut asma Allah. Mbah Anwar itu ingin bermanfaat bagi orang banyak. dzikir itu wajib, tapi khoirunnaasi  anfa’uhum lin naasi, jadi beliau selalu sibuk mengajar, bercengkrama dengan para santri, dan bahkan bersih-bersih. Seperti menyapu kalau dirasa perlu, mengambil sampah yang tercecer di jalan.”

“Bahkan, ayahku itu di kamarnya ada banyak piring. Kalau dirasa nganggur, beliau berdzikir sambil ngelapi piring.”

“Cah, salah satu tanda cinta itu ittiba’, mengikuti apa-apa yang dilakukan orang yang dicintai. Nah, kalian ini santri Mbah Anwar. Cinta ndak sama kyaimu?”

Ditanyai begitu serentak kami semua membuat koor ‘ya’ dengan kompak.

“Aku itu niatnya nakzir kalian itu bukan nyari untung, tapi juga biar kalian bisa ittiba’ Mbah Anwar. Ngisik-isik kaca, nyapu, ngelapi piring, itu semua  lak yo bersih-bersih, to?” tanpa sadar, aku dan teman-teman di sebelahku mengangguk pelan.

“Lha ya itu biar kalian punya kegiatan yang sama dengan Mbah Anwar, ittiba’ sama Mbah Anwar. Nanti kan saya kepinginnya kalian juga bisa jadi ‘alim dan ‘abid kayak Mbah Anwar. Kalau nggak disuruh, nggak mungkin, kan, kalian punya inisiatif ngelap piring? Sekalian juga biar kalian itu jera. Maunya saya kalian ngajinya itu lancar dan hafalannya bagus bisa disemak, makanya kalau bolos saya beri takziran. Tapi kok ya ada yang ditakzir nggak jera-jera,”

Kemudian Ibuk melirik ke arahku, dan tersenyum.

***



LINA J. MA’RUF
Santri kelas XI MA Ali Maksum, Ponpes Krapyak, Yogyakarta
Komunitas Sastra Menjangan, Krapyak
Jalan K.H. Ali Maksum PO. Box 1192
Krapyak, Yogyakarta
Indonesia 55011

hujan dan daun-daun kering

HUJAN DAN DAUN-DAUN KERING 

Daun-daun kering berderit pelan digesek angin
Saling bercakap-cakap mereka
Tentang kisah yang melulu sama,
Lembah hati yang sepi.

Pada angin, daun titipkan salam rindunya
Untuk hujan, yang diam-diam dicintainya
Hujan yang basuh helai-helai bertangkai
Itu dari debu-debu
Sekalian lepas dahaga dari kering kemarau yang kerontang

Daun-daun kemarau tetap menunggu
Pada pertemuan dengan hujan yang menyimpan cinta
Tulus
Pada daun-daun yang merindunya