Mata
Indah
Deg! Degup jantungku bertempo lebih cepat dari biasanya.
Segera kutundukkan kepalaku sebelum jantungku bhermaraton keluar dari rongga
dadaku. Saat aku mendongak sedikit, aku tak kuat menatapnya, menatap mata
indahnya.
***
Aku baru kelas delapan dan adikku baru saja meninggal karena
leukimia setahun lalu. Aku adalah pribadi yang tertutup, dan kepergian Ren,
kembaranku, membuatku semakin enggan bergaul.Belajar dan buku adalah
pelampiasanku. Sampai akhirnya guruku menunjukku mewakili sekolah untuk maju
lomba fisika tingkat kota. Saat itulah, aku menemukan ia mengerjakan soal
tertulis tepat di sebelahku. Aku hampir tak menyadari kehadirannya sampai waktu
habis dan bola mata indah itu tak sengaja menangkap mataku yang terbelalak
melihatnya.
Bukan main. Cahaya matanya adalah gelombang
elketromagnetik yang berkecepatan lebih dari 3x108 meter per detik.
Anehnya, aku seperti pernah melihatnya.
***
Sekarang aku kelas sepuluh dan dia masih berada satu
kota denganku. Tiada henti aku bersyukur aku dan dia tidak bersekolah di
sekolah yang sama sehingga kami bisa mewakili sekolah masing-masing dan
berjumpa pada ajang yang sama: fisika.
Aku semakin mengenalnya, begitu pula ia. Aku bercerita
padanya tentang segala hal. Tentang hobiku, keluargaku, semuanya. Ia
memandangku penuh arti saat aku bercerita tentang Ren yang meninggal tiga tahun
lalu. Ia begitu baik. Kini, bayangan wajahnya menggantikan rumus-rumus fisika
yang kuwiridkan menjelang tidur. Namun frekuensi belajarku juga semakin rajin
agar aku bisa bersanding dengannya di podium juara, sekalipun piala miliknya
selalu lebih bersar dari milikku.
Pada pertemuan terakhir, aku berujar bahwa aku ingin
mengikuti olimpiade fisika internasional, bersamanya. Ia tertawa pelan
mendengarnya. Suara tawa yang indah, dan aku seperti pernah mendengarnya. Tapi
biarlah. Aku tak peduli. Aku menatap mata indahnya lagi.
Oh, lihatlah. Ia semakin menawan dengan topi hoodie hitam di kepalanya, menutupi
rambut keritingnya yang semakin hari semakin jarang saja. Aku tak heran, rumus
memang bisa membuat tua sebelum waktunya. Namun, rumus jugalah, yang kemudian
melaksa cinta kami berdua.
***
Sebulir embun terjun pelan dari sudut mataku. Tuhan, aku
masih tak memercayai ini. Ini mimpi! Dengar; aku dan dia akan menjadi salah dua
dari kontingen Indonesia di olimpiade fisika internasional bulan depan. Namun,
ah, entahlah. Mataku semakin kabur, napasku memburu, degup jantungku beradu.
Aku hanya mampu tersedu.
Si mata indah itu, kini aku tahu di mana kami berjumpa
di masa lalu. Ia adalah orang yang selalu kutemui saat aku menjemput Ren di
rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Sekarang ia mungkin telah bertemu Ren.
Aku hanya bisa berlutut dan terisak di depan sebuah nisan batu. Si mata indah
itu meninggalkanku. Ia sudah terkubur di depanku, memendam harapan-harapan
indah kami, dulu.
Lina Juhaidah
Kelas XI IPA 3 MA Ali Maksum, Yogyakarta