Untuk Mbah Rayi
Mbah, aku rindu...
Sekarang siapa yang akan kucium tangannya pertama kali saat aku tiba di ndalemmu?
Siapa yang mengupas salak dan sesekali mengolaknya untukku?
Siapa yang akan mengajakku tarawih di masjid sembari mengenalkanku pada seluruh jemaat sebagai cucumu?
Siapa yang akan membukakan lemari wangi kapur barus milikmu itu?
Siapa yang akan menceritakan hikayat keluarga dengan fasih kepadaku?
juga, mengurutkan silsilah keluarga?
Mbah, kami rindu...
Siapa yang akan kami sungkemi pertama kali saat syawal tanggal satu?
Kemudian duduk di tengah setiap foto bersama?
Juga menasihati kami tanpa lelah
Tentang betapa pentingnya ngaji, ngaji, dan ngaji
Dan berdoa.
“Mbah, kula ajeng UN. Nyuwun doane, Mbah.” “Ra sah. Kabeh anak putuku wis takdongakke ben dina.”
BELUM SEMPAT
Untuk simbah rayi Ma’munatun Asrori binti Cholil
Mbah,
Mauidloh hasanahmu terus kau ulang,tentang kewajiban mengaji.
Tentang keharusan bertata krama,
Tentang kelalaianku berbahasa Jawa krama,
Juga kau tuturkan berbagai macam hikayat yang bermanfaat
Maaf, mbah
aku mengabaikan petuahmu berulang-ulang,
aku lebih bangga bila di kelas jadi juara, daripada mempunyai akhlak mulia
aku sibuk belajar bahasa manca, hingga lupa bahasa Jawa
aku lebih berminat pada cerita di novel, ketimbang kisah penuh hikmah
Maaf, Mbah,
Maafkan aku,
Aku belum sempat minta maaf langsung padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar